Di era awal, film digunakan sebagai alat untuk merekam jasa koloni, adat istiadat, dan keindahan geografis di negeri tanah seberang. Keeksotisan ini mengundang filmoperateur dari berbagai negara untuk datang dan mengabadikan secara langsung1.
Dengan berkembangnya ketertarikan merekam berbagai peristiwa, persaingan di antara filmoperateur pun tidak dapat dihindari. Hal ini menjadikan filmoperateur lokal seperti F. Carli dan G. Krugers tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan pendatang2. Belum lagi, keresehan Metman akan belum terbentuknya geliat kesadaran untuk produksi film bercerita di Hinda Belanda. Sementara, ia merasa begitu banyak hal yang potensial untuk dieksplorasi dari kisah legenda hingga lanskap alam yang mendukung. Alasan itulah yang menjadi salah satu pemicu lahirnya film cerita pertama di Hindia Belanda, Loetoeng Kasaroeng (1926). Krugers menjadi filmoperateur pertama film cerita di Hindia Belanda3.
Salah satu adegan dalam film Loetoeng Kasaroeng (1926)
Sumber: Sinematek Indonesia
Setelah Loetoeng Kasaroeng, semangat untuk membuat film cerita meningkat. Filmoperateur lain seperti F. Carli, Wong Bersaudara, A. Loepias, dan P. Beltjens menyusul membuat film cerita di Hindia-Belanda. Film cerita di era awal didominasi oleh legenda rakyat dan kisah drama tragedi. Sebut saja film Lily van Java (1928)4 dan Ria Rago (1929)5 yang bercerita mengenai perjodohan paksa, dan Nyai Dasimah (1929), yang mendulang sukses saat itu, bercerita mengenai perselingkuhan6.
Keberadaan film cerita membawa perkembangan baru dalam pembagian kerja pada proses opname film. Jika sebelumnya dalam produksi film reportase, tidak ada pembagian kerja antara filmoperateur dan regisseur karena dikerjakan oleh orang yang sama, bahkan tidak jarang mereka juga ambil andil dalam proses development7. Di era film cerita mulai ada pembagian kerja dimana filmoperateur atau juru kamera dan Regisseur dilakoni oleh orang yang berbeda. Seperti halnya film Loetoeng Kasaroeng, posisi Regisseur dipegang oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers bertugas menangani kamera dan mencuci film (development)8. Selain itu, saat Nelson dan Joshua Wong ada di Departemen Kamera (menjadi Juru Kamera dan Asisten), maka Othniel bertanggung jawab di development film9.
Pada akhir tahun 1920-an, masuknya film suara atau talkie impor memberikan tawaran baru bagi industri perfilman Hindia-Belanda. Peluang ini ditangkap oleh sineas lokal, diawal 1930-an. Film Karnadi Tangkep Bangkong (1930) yang dibuat oleh G. Krugers menjadi film talkie pertama10 yang dibuat di Hindia Belanda. Ia meminta bantuan Morris, seorang teknisi di Bandung, untuk memodifikasi kamera miliknya agar dilengkapi alat perekam suara11. Sayangnya film tersebut hanya menjadi film part-talkie karena memiliki kualitas suara yang buruk dan ada beberapa dialog yang tidak berhasil direkam.
The Teng Chun dkk di lokasi pembuatan film Boenga Roos dari Tjikembang (1931) dengan kamera yang sudah dimodifikasi
Sumber: Sinematek Indonesia
Selain Krugers, Wong Bersaudara dan The Teng Chun meminta bantuan Lemmans, seorang dosen sekolah teknik di Bandung, untuk memodifikasi kamera milik mereka12. Modifikasi ini menjadi awal lahirnya film full talkie pertama, Boenga Roos dari Tjikembang (1931). Film karya Teng Chun ini sayangnya juga memiliki kualitas suara yang buruk13.
Tawaran akan talkie nyatanya tidak membuat industri film menggeliat. Sebaliknya, Talkie menjadi hambatan bagi industri film Hindia Belanda untuk tumbuh, karena masih jumlah layar yang mendukung talkie masih sedikit dan tingginya pajak tontonan saat itu14. Hambatan-hambatan itu menyebabkan beberapa perusahaan produksi film harus gulung tikar di awal tahun 1930-an. Hanya segelintir yang mampu melewati masa sulit itu. Salah satunya perusahaan milik The Teng Chun, Java Industrial Film (JIF). JIF cukup mendominasi pasar saat itu dengan film-film berlatar belakang cerita klasik rakyat Tiongkok15.
Adegan film Terang Boelan (1937). Nyanyi bersama lagu-lagu keroncong.
Sumber: Sinematek Indonesia
Ketika industri film tidak menunjukan perkembangan yang berarti, film Terang Boelan (1937) berhasil menuai sambutan penonton dari berbagai pelosok. Film ini meledak dan menghasilkan pundi-pundi yang berlimpah16. Film ini juga menjadi titik balik dari kondisi industri bahkan bagi karir Wong Bersaudara. Setelah film Terang Boelan, Wong bersaudara bekerja sama dengan Than Khoen Youw membuat film-film yang menarik banyak penonton17. Setelah keberhasilan Tan Film Coy dan JIF yang mampu bertahan, industri film berhasil bangkit di akhir tahun 1930-an, terbukti dengan perusahan-perusahaan film yang tumbuh di beberapa daerah di Pulau Jawa18, tidak lagi hanya terpusat di Weltevreden.
Perbandingan Kamera Debrie Parvo (kiri) dan Kamera Bell & Howell (kanan)
Sumber: spaarnestadphoto.nl dan Pertjatoeran Doenia dan Film
Pembuatan film bicara atau talkie memiliki beberapa perbedaan dengan proses pembuatan film bisu di era awal. Dimulai dari perbedaan kamera yang digunakan, proses opname, hingga proses development film. Jika pada era sebelumnya kamera yang digunakan cenderung sederhana dan mudah untuk dibawa seperti Debrie Parvo19 dan Pathe20. Di era talkie, kamera yang digunakan cenderung lebih besar dan berat, karena ada alat tambahan untuk merekam suara. Sebut saja beberapa kamera yang dimodifikasi menjadi kamera single system pada tahun 1930-an dan Kamera single system yang di impor langsung dari Amerika (Bell & Howell dan Aukeley). Jika kita perhatikan, Kamera Parvo yang digunakan W. Mullens di Noord-Sumatra (gambar kiri) memiliki handle di atasnya sehingga mudah dibawa dan ukurannya cukup kecil jika dibandingkan dengan Kamera Bell & Howell yang digunakan untuk produksi film Noesa Penida (gambar kanan).
Proses opname Film Kartinah (1941) sudah mengandalkan lampu
Sumber: Terang Boelan III(5). pp. 7-8
Proses opname, khususnya opname di dalam ruangan sangat terbantu dengan adanya teknologi pencahayaan. Jika sebelumnya seluruh proses opname dilakukan di bawah sinar matahari, bahkan untuk adegan indoor21, dan dibantu reflektor-reflektor. Pada proses opname talkie, untuk adegan di dalam ruangan sudah tersedia set indoor yang dilengkapi dengan lampu-lampu yang sangat terang22. Sedangkan ketika proses opname di luar ruangan, sinar matahari dan reflektor masih diandalkan sebagai sumber pencahayaan.
Selain kamera yang digunakan dan proses opname film, proses development film pun mengalami perkembangan. Mungkin teman-teman sudah membaca artikel Sekilas Pandang (I): Sinematografi era Awal 1900-1920, disana diceritakan bahwa juru kamera melakukan development film secara mandiri. Di akhir tahun 1920-an, cara tersebut masih dilakukan, beberapa juru film masih membuat sendiri tempat untuk memproses film di sekitar lokasi opname (P. Beltjens)23 sedangkan beberapa lainya sudah melakukannya secara mandiri di studio miliknya (Wong Bersaudara)24.
Proses pengeringan film dan Proses menyambung film di Studio JIF
Sumber: Pertjatoeran Doenia dan Film (1941)
Seiring berkembangnya perusahaan-perusahaan film di Hindia Belanda pada akhir 1930-an, proses development pun semakin berkembang. Proses development film tidak lagi dilakukan oleh juru kamera, beberapa orang sudah dipekerjakan untuk mencuci film, mengeringkan film, serta menyambung film agar sesuai dengan skenario25.
Berita Film di Djawa (1943) merupakan salah satu film propaganda Jepang
Sumber: archive.org/details/berita-film-di-djawa-nr.-2
Sayangnya Kemajuan pesat dalam industri film tidaklah bertahan lama. Saat Jepang berkuasa, perusahaan-perusahaan film ditutup secara paksa dan seluruh produksi film diambil ahli oleh Pemerintah Jepang26. Sebagian besar juru kamera harus berganti profesi, terutama juru kamera peranakan Tiongkok. Dimasa penjajahan Jepang, hanya orang Jepang dan orang Indonesia yang dipekerjakan di studio film. RM Soetarto yang sebelumnya bekerja sebagai Juru Kamera Multifilm, tetap dipekerjakan sebagai Juru Kamera Djawa Eiga Kosha / Nippon Eiga Sha27. Nippon Eiga Sha memproduksi film-film berita yang mendukung propaganda Jepang. Industri perfilman di masa penjajahan Jepang hingga pasca kemerdekaan dapat dikatakan mengalami mati suri. Industri perfilman Indonesia perlahan bangkit kembali di tahun 1950-an, tetapi bagaimanakah regenerasi profesi juru kamera? Apakah ada tawaran baru di industri perfilman setelah Indonesia merdeka?.
Sumber:
1 https://theics.id/articledetail?id=5
2 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 62.
3 Biran 2009, hlm 66.
4 https://id.wikipedia.org/wiki/Lily_van_Java
5 http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-r036-30-839915_ria-rago-pahlawan-wanita-dari-lembah-ndona#.Y2pCpOxBy3J
6 “NJAI DASIMA DIBIKIN FILM.”, dalam Dunia Film, No. 10, 1 Oktober 1929 (Weltevreden: Swemmelaar, 1929), hlm. 19.
7 https://theics.id/articledetail?id=5
8 Biran 2009, hlm 61.
9 Transkrip Wawancara Joshua dan Othniel Wong di Perusahaan Film Cenderawasih.
10 https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Karnadi_Anemer_Bangkong
11 Biran 2009, hlm 135.
12 Biran 2009, hlm 135.
13 Biran 2009, hlm 140.
14 Biran 2009, hlm 144-145.
15 Biran 2009, hlm 148.
16 Biran 2009, hlm 171.
17 Biran 2009, hlm 175.
18 “Indoestri Film di Pekalongan.”, dalam Berita Oemoem, 1 Juli 1941, hlm. 4.
19 “Debrie Parvo” di https://www.instagram.com/p/CiugoDWv7KO/?hl=en
20 “Pathé” di https://www.instagram.com/p/ChWnAABvyxh/?hl=en
21 Biran 2009, hlm 151.
22 Andjar Asmara, “Pembikinan Film '', dalam Pertjatoeran Doenia dan Film, No.2, Juli 1941, hlm. 6.
23 “Piet Beltjens” di https://www.instagram.com/p/CkcyGugS59h/?hl=en
24 “Wong Bersaudara” di https://www.instagram.com/p/CgzGfe8vWwv/?hl=en
25 Andjar Asmara, “Pembikinan Film”, dalam Pertjatoeran Doenia dan Film, No.2, Juli 1941, hlm. 6.
26 Biran 2009, hlm 332.
27 “Riwayat Hidup Raden Mas Soetarto” dari Arsip Sinematek Indonesia