Perjalanan Karir dan Eksplorasi Kreatif HM Soleh Ruslani, ICS: “Tak ada film yang besar ataupun kecil”

Perjalanan Karir dan Eksplorasi Kreatif HM Soleh Ruslani, ICS: “Tak ada film yang besar ataupun kecil”

By ICS Research Center & Lenscope Film Research

24 February 2025

HM Soleh Ruslani, ICS merupakan sinematografer yang mengawali karirnya sebagai kameramen newsreels untuk Perusahaan Film Negara (PFN) sejak tahun 1967 ketika beliau berusia 23 tahun. Berbekal giat belajar, tekun membaca, dan kecintaannya akan film, ia berkarya sebagai penata kamera film fiksi panjang dari 1973 hingga 1997. Selama 24 tahun berkarir, ia telah memproduksi sekitar 30 film. Selama karirnya, telah mendapatkan 11 nominasi untuk penghargaan penata kamera terbaik. Dua diantaranya, yakni Kodrat dan Cinta dalam Sepotong Roti mendapatkan Piala Citra dan Film Terbaik untuk film dokumenter Nayak di tahun 1973. Pada tahun 2023, beliau mendapatkan anugerah penghargaan seumur hidup dari Festival Film Indonesia. Di samping itu, beliau juga aktif mengajar dan menulis draft buku teks sinematografi.


Perjalanan karir sinematografer yang lahir di Surakarta pada 1 Desember 1944 berawal memasuki awal dekade 1960. Saat itu dirinya merantau ke Jakarta dengan niat ingin mengambil jenjang S-1 jurusan ekonomi, namun arah hidup berkata lain. Di saat yang bersamaan, ada kursus film yang diselenggarakan oleh Syuman Djaya yang kala itu baru saja pulang dari studi film di Gerasimov Institut de Kinematograph (VGIK), Moskwa. Ketertarikan-nya akan dunia sinematografi terbentuk pesat di sini. Hal yang tak terlupakan adalah menonton film-film Uni-Soviet/ Rusia pasca kelas di Pusat Kebudayaan Uni-Soviet/ Rusia. Sayangnya kursus film ini diberhentikan saat terjadi Gestapu di 1965. Selang dua tahun setelah itu, tepatnya di 1967 ia mendaftar menjadi kameraman newsreel untuk Perusahaan Film Negara (PFN). Berbekal giat belajar, tekun membaca, dan kecintaannya akan film - di kemudian hari ia dipercaya untuk menjadi juru kamera film dokumenter. Pada tahun 1973, Ia mulai bergelut di produksi film fiksi panjang. Selama 24 tahun berkarir, ia telah memproduksi sekitar 30 film. Selama karirnya, telah mendapatkan 11 nominasi untuk penghargaan penata kamera terbaik. Dua diantaranya, yakni Kodrat dan Cinta dalam Sepotong Roti mendapatkan Piala Citra dan Film Terbaik untuk Film Dokumenter Nayak di tahun 1973. Pada tahun 2023, beliau mendapatkan anugerah penghargaan seumur hidup dari Festival Film Indonesia.


Pada 20 Desember 2024, Pak Soleh Ruslani hadir bersama kami untuk siniar (podcast) Telisik Sejarah yang diadakan di Headquarter, ICS (Jl. Damai No. 100, Jagakarsa) pukul 13.00 - 15.00 WIB. Tampak Pak Soleh mengenakan topi kabaret hitam favoritnya dengan pin kecil Indonesian Cinematographers Society dengan kombinasi warna emas dan hitam. Beliau mengenakan kemeja krem garis cokelat lengan pendek. Beliau begitu hangat dan cukup antusias berbagi cerita. Pada kesempatan kali ini, beliau bercerita pengalaman berkarir di ranah kamera/ sinematografi dari newsreel, dokumenter, hingga film fiksi. Guru/ mentor yang memberikan pengaruh dan pelajaran bermakna dalam dunia film. Hingga persahabatan, kolaborasi dan proses kreatif dengan sutradara Arifin C. Noor. Siniar ini tak akan terjadi tanpa dukungan Ari Ernesto - sutradara dokumenter dan putra dari Pak Soleh Ruslani, Muhammad Firdaus, I.C.S, Alpianai, Putri, Nia Riesthanty, dan Nani. Berikut merupakan transkrip wawancara dengan beliau yang telah tim Telisik Sejarah kurasikan: 

   

JULITA PRATIWI:

Selamat datang di Podcast Telisik Sejarah Sinematografi. Program Telisik Sejarah diinisiasi oleh Indonesian Cinematographers Research Center, bekerjasama dengan Lenscope Film Research, didukung oleh Kemendikbud Ristek, Dana Indonesiana dan LPDP. Pada kesempatan kali ini ada Muhammad Firdaus ICS, dan saya Julita sebagai host yang memandu jalannya podcast hari ini.

Telah hadir di tengah-tengah kita, seorang sinematografer senior. Beliau lahir di Surakarta 1 Desember 1944. Eksposurnya terhadap dunia sinematografi terbentuk sedari mengikuti kursus film yang diselenggarakan dengan dukungan Syuman Djaya.

Beliau merupakan sinematografer yang mengawali karirnya sebagai kameramen newsreels untuk Perusahaan Film Negara sejak tahun 1967 ketika beliau berusia 23 tahun. Berbekal giat belajar, tekun membaca, dan kecintaannya akan film, ia berkarya sebagai penata kamera film fiksi panjang dari 1973 hingga 1997. Selama 24 tahun berkarir, ia telah memproduksi sekitar 30 film.

Selama karirnya, telah mendapatkan 11 nominasi untuk penghargaan penata kamera terbaik. Dua diantaranya, yakni Kodrat dan Cinta dalam Sepotong Roti mendapatkan Piala Citra dan Film Terbaik untuk Film Dokumenter Nayak di tahun 1973. Pada tahun 2023, beliau mendapatkan anugerah penghargaan seumur hidup dari Festival Film Indonesia.

Ini dia teman-teman hadir bersama kami Bapak Soleh Ruslani. Apa kabar Pak Soleh?


HM Soleh Ruslani, ICS:

 Alhamdulillah. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Selamat datang Pak Soleh. Terima kasih. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya keadaan saya baik dan sehat. Dan alhamdulillah bisa dan senang saya hadir di sini.


ORANG-ORANG YANG BERPENGARUH 


Muhammad Firdaus, ICS:

Nah di perjalanannya Pak Soleh itu sampai hari ini atau dalam proses berkarya waktu sedang aktif-aktifnya itu orang-orang yang mempengaruhi siapa aja Pak? Kan kita berkembang terus nih.

Kita berkembang. Ada yang mempengaruhi. Sampai akhirnya kita bikin lagi apa. Terpengaruh oleh orang lain. Mau itu sutradara atau sesama DOP (Director of Photography)1. Atau ada seniman lain. Pak Soleh bagaimana? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Saya beruntung. Beruntung ya. Satu mendapat bimbingan dan ajaran dari guru-guru yang hebat. Itu. Saya pernah ikut dalam sekolah yang dibuka oleh Almarhum Syuman Djaya. Itu beliau itu secara teori secara teori itu nggak banyak. Namun begitu selesai teori sore malam kita diajak diajak nonton film-film yang ada di kedutaan Rusia. Ya kebetulan kan beliau baru pulang dari Rusia. Di situ di situ saya lihat (Battleship) Potemkin2 ya kan? (Battleship) Potemkin yang apa terus dia bilang ini editing parallel ini-ini kayak begini.

Dia tunjukkan pada saat adegan sementara itu peluru ya berdesingan kereta bayi turun dari terap atas. Ya kan? Itu kan aduh sangat-sangat ini kan suatu saat ada orang yang berteriak histeris ya kan khawatir takut kalau ada peluru nyasar. 

??Scene Kereta Bayi dalam Battleship Potemkin yang dimaksud oleh Soleh Ruslani 


Muhammad Firdaus, ICS:

Kena ke bayi.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Nah sementara bayi yang dikhawatirkan itu close up ya turun tertawa-tawa. Itu kan paradoks sekali. Ya kan? Paradoks sekali.

Dan Almarhum itu menerangkan ini kalian harus ingat bahwa film adalah produk budaya. Produk budaya yang dikemas dengan teknologi canggih. Dan bernilai ekonomi. Jangan lupa katanya. Ya kan? Dan title kalian gelar kalian itu di layar katanya. Di layar. Kalau di layar itu tertampang nama kamu. Nah itu kamu harus bangga. Ya kan? Apapun juga kamu harus bangga. Itu.

Terus diputarkan juga film-film Eropa Timur. Ya kan.. Untuk mengajarkan gak ambil film-film barat ya yang berbau komersil. Ya ambil Timur. Saya teringat adegan salju turun. Ya kan.. Seorang prajurit berpamitan kepada pacarnya. Dan kamera kamera itu berputar mengelilingi dia sementara itu.


Muhammad Firdaus, ICS:

Sementara salju turun. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ini metafor.. metafor bagaimana perpisahan tanpa dia tanpa ini. Hanya alam.

Bukan saja menyaksikan dia turun dengan salju bagaikan menangis. Ini, ingat itu. Itu satu.

Nah ada dosen Pak (Wagimin) Adi Cokrowadoyo. Beliau itu berhasil dengan film Apa Yang Kau Cari Palupi. Terus Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Itu guru saya. Kalau gak salah lulusan dari London. Ya kan? Nah suatu saat saya dites. Ini, kamu pergi. Ini ada ada adegan katanya. Ada proyek bagaimana proyek ini memecah batu di malam hari. Memecah batu dekat sungai di malam hari. Kamu bawa lampu ini. Tiga.


Muhammad Firdaus, ICS:

Ini sama Pak Adi nih disuruh. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Iya Pak Adi. Tiga yang 500 wattan gitu.  Kalau dulu jamannya Photoflood3. Waduh. Saya dites. Dicoba. Ya, sebagai murid mau tidak mau. Salah benar, jalan.

Saya jalan. Di lokasi saya lihat ini batu-batu yang akan dipecah. Terus ada traktor yang istirahat. Dan di belakang traktor itu gudang. Iya kan? Jadi saya manfaatkan tiga lampu itu. Satu lampu saya taruh di balik traktor mengarah ke gudang. Frontal gitu ya. Nah satu lampu saya arahkan backlight ke traktor. Sehingga bayangannya itu ada di ini. Di rumput. Satu lampu lagi saya kasih untuk pemecah batu. Agak sidelight. Itu yang bisa saya kerjakan. Maksimal. Karena dengan kondisi yang itu.

Begitu pulang saya bilang ini contoh bahwa lighting tata cahaya itu tidak harus jumlah kuantitas lampu yang banyak. Bukan itu. Tapi bagaimana menempatkan ya menata. Makanya disebut tata cahaya. Menempatkan titik-titik lampu yang penting. Itu. Jadi saya termasuk ya dia bilang ini contoh. Nanti kamu kalau terjun, jangan takut lampu kamu cuma ini. Pakai ini. Dan ini kamu sudah buktikan. 

Terus saya ingat Almarhum Soemardjono4. Almarhum itu orangnya keras. Strict. Dia sangat-sangat perfect. Dia bilang ini coba contoh. Ini 100 feet ya. rushcopy. Kalau ini dibagikan kepada 11 katakanlah editor. Hasilnya bagaimana? Ternyata hasilnya setiap editor itu berbeda. Masing-masing punya visi. Masing-masing punya sense. Nah dia bilang, nah lihat. Seorang editor itu harus punya sense. Punya visi. Bukan hanya menyambung tapi meramung bagaimana ini menjadi. Menjadi sebuah adegan yang yang bisa mewakili daripada keinginan sutradara.

Nah, yang lain itu Almarhum Ami Priyono5, art directing, terus Almarhum MD Alif6, itu manajemen. Jadi, dari tiga dosen itu saya tangkap bahwa untuk menjadi seorang sineas tuh bukan saja teknis, tapi bagaimana memanfaatkan peluang dan kemampuan. Itu yang kira-kira saya ini.


Muhammad Firdaus, ICS:

Jadi, apa itu ya? Bukan cuma bukan cuma alat tapi bagaimana si sinematografer atau filmmaker itu dia punya visi, punya gagasan, apa yang mau disampaikan. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Itu penting. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Ya, ya, ya.


PERKUMPULAN KAMERAMEN INDONESIA 


JULITA PRATIWI:

Menarik waktu Pak Soleh ngebahas tentang guru-guru yang berpengaruh di awal karir Bapak sebelum sungguh masuk ke dunia sinematografi. Nah, berdasarkan penelusuran kami, kami juga pernah dengar Pak, salah satu guru Bapak, Bapak Wagimin Adi, itu pernah membuat Perkumpulan Kameramen Indonesia. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Oh iya, benar, betul.


JULITA PRATIWI:

Dan kita tuh tertarik banget. Oh ini berarti cikal bakal ICS nih Indonesian Cinematographer Society itu pernah diinisiasi nih oleh seorang sinematografer di periode 50-60an Pak. Bisa diceritain tentang itu gak Pak? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Waktu itu ya terus terang ya Almarhum itu. Saya enggak tahu apa, kumpulannya itu enggak tahu. Saya masih buta, masih buta belum tahu dan ya sebagai orang yang peloncok7 ya kan, jauh sekali.


PERJALANAN KARIR DAN PASCA GESTAPU


HM Soleh Ruslani, ICS:

Bayangkan saya tahun 65, sekolah. Sekolah kemudian terjadi Gestapu8, tutup sekolah itu. Itu sayang benar. Sementara kita ini masih antusias, masih senang. Karena buat saya, kami ini, ini dunia lain. Dunia yang penuh exciting. Ya kan..

Saya memang mau kuliah ekonomi. Tapi nggak tahu kok larinya kesana. Nah begitu terjadi Gestapu ya. G30S tutup. Kita mau kemana? Nggak tahu ya. Mau balik kuliah lagi, misalnya daftar lagi. Udah tanggung gitu. Udah tanggung. Dan rasanya suasananya itu apa ya antara teman itu kita nggak tahu dia musuh apa teman. Saling curiga. Karena waduh itu kan kita baru 3 hari tahu bahwa ada gerakan itu. Jadi memang kita terjebak pada pusaran-pusaran yang dimana kita nggak tahu. Jadi bagaimana mungkin mau kuliah lagi.

Ini saya teruskan. Jadi itu tahun 65. Kita udah bingung. Pulang kampung malu. Jadi, kebetulan, ya ini keberuntungan. Tahun 67 saya direkrut oleh PFN (Perusahaan Film Negara) untuk jadi newsreel kameramen. Saya peloncok. Ya apa aja. 

Nah newsreel kameramen waktu itu kan PFN kan memproduksi film-film Gelora Indonesia9 yang diputar 10 menit. Isinya berita-berita. Karena dulu kan belum ada seperti sekarang. Nah itu saya mengisi acara itu. Jadi ya saya harus belajar. Dulu ya di PFN itu tiap hari Sabtu seluruh hasil rushcopy dari setiap kameramen. Itu kan banyak. kameramen itu diputer. Nanti direktur yang ngomong waduh ini sampai ada istilahnya ini Mister Out Focus. Ini Mister Unsteady. Waduh.

Saya melihat itu saya takut. Saya pemalu. Ya orang kampung. Malu diketawain. Gimana caranya? Kamera itu kan harus handheld. Jadi bagaimana memperkuatkan, memperkuat kakinya. Tiap pagi saya lari pagi. Dan lari pagi bukan dengan sepatu sport. Saya pakai sepatu tentara yang berat tuh. Itu. Dari Cawang ke Kampung Melayu. Bolak-balik.

Nah. Gimana tangan? Besar. Yang namanya anak muda ya dulu. Kamera yang saya pakai itu. Itu warisan Perang Dunia Kedua. Itu saya lihat gambarnya. Ronald Reagan waktu itu ditugaskan jadi divisi apa? Untuk Amerika. Dia pakai kamera itu. Kamera itu namanya Eyemo. Eyemo. Eyemo. Cuma 100 feet.


Muhammad Firdaus, ICS:

16mm? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

35 (mm). Kalau 16 (mm) itu Filmo. Bell Howell. Nah. Motornya itu kan pakai crank, per. Jadi kalau 100 feet itu satu full putaran satu frame atau crank itu 15 detik. Jadi saya harus berhemat.

Jadi kalau ada acara di luar saya datang satu jam sebelumnya. Saya datang, saya perhatikan arah cahaya matahari, kemudian kalau itu di tenda, saya hitung gimana kalau saya long shot. Iya kan? Long shot kira-kira disini. Iya kan? Saya pakai view kamera gitu. Oh iya disini. Nah dari situ ini ilmu bodoh. Karena saya takut ini. Saya hitung berapa langkah. Berapa langkah ke depan. Ke podium. 

Maksudnya apa? Supaya bisa saya perhitungkan kapan long shot. Iya kan? Nah long shot itu paling harus 10 detik. Iya kan.. Jadi saya hitung 2-1, 2-2, 2-3, 2-4 sampai 30. Nah maju ke depan berapa langkah itu saya hitung. Iya kan.. Saya hitung nah mediumnya berapa. Medium itu paling 7. 7 detik. Kenapa? Karena putarannya kan nah close up 5 detik. Jadi itu cara ini.

Cara saya belajar. Jadi pertama saya pemalu takut diketawain. Kedua saya apapun juga saya orang perfect. Yang semua saya pakai hitungan. Begini Eyemo ini yang tadi dibilang warisannya ini. Itu sistemnya masih paralaks.

Paralaks itu antara yang dilihat oleh lensa dengan yang dilihat oleh viewfinder berbeda. Jadi makanya setiap shot itu harus disamakan antara yang di viewfinder dengan yang di lensa. Kalau enggak komposisi akan meleset.


Muhammad Firdaus, ICS:

Iya. Dia sejajar. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Iya. Karena dia ini lensa ini viewfinder. Kalau Arriflex kan udah lain. Jadi itu ribetnya disitu.

Harus ini ngukur fokus ini. Jadi tiap hari saya latihan kalau dengan lensa 50. Kalau saya dekat dengan orang segini itu kira-kira berapa fit. Jadi full shotnya berapa fit. Itu. Jadi saya ini sendiri, belajar sendiri.

Jadi ini saya teruskan. Saya jadi meliput acara baik di istana maupun di daerah. Suatu saat ini ya karena perintah, karena tugas saya harus ngikutin ekspedisi joint venture antara NTV. NTV ini Nippon Televisi dengan saya ditugaskan. 6 bulan di Papua. Iya kan. Waktu itu saya masih bujangan. Yang lain kan yang gak mau ambil saya bilang ya udahlah saya bujangan dan lagi peloncok disuruh pergi ya pergi. Itu jadi karena tugas. Gak ada keinginan wah saya pindah ke dokumenter.

Kebetulan ini yang gak bisa di antara rombongan NTV itu ada kameramen the best the best kameramen. Takahata San. Tapi walaupun dia the best, kan sulit. Komunikasi sulit, kita nggak bisa ini. Jadi, dan dia selalu ciri khasnya itu pakai rompi. Ini bukan gagah-gagahan. Ini untuk, kita kan nggak ada asisten. Jadi, semua pernak-pernik urusan dengan kamera itu ada di saku-saku. Termasuk lensa buat pengganti, jadi lensa cleaner, blower. Jadi, dia nggak usah bolak-balik ambil, itu nggak perlu. Jadi, ini karena one hand one man show. Jadi, saya lihat. Jadi, mereka tuh prepare (bersiap) sendiri.


Muhammad Firdaus, ICS:

Kayak ganti film gitu Pak, sendiri? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Sendiri.

 

Muhammad Firdaus, ICS:

Emang zaman itu semua sendiri ya? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Sendiri, iya sendiri. Saya ke London, itu sendiri. Saya pakai tripod apa sendiri. 

Untung dan hebatnya ya orang sana tuh. Guide, guide aja tuh tahu soal film. Dia bantu ini, ini. Padahal, waduh. Bukan main.

Ini merenceng dikit. Tapi, pengalaman saya begitu. Sendiri. Saya pasang ini sendiri. Itu di sini ini penuh dengan kaset, dengan ini. Nah, makanya perlunya, kenapa ini kaki harus ini? Ya kalau naik, kadang-kadang di Bangladesh, itu untuk rombongan wartawan itu truk. Kalau kita mengejar itu harus ini. Jadi, perlu fisik.


Muhammad Firdaus, ICS:

 Iya, fisik yang bagus.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Jadi, dan saya pikir kita kadang-kadang lupa. Lupa. suatu saat, handheld suatu saat.

Jadi, saya perhatikannya. Gak mungkin. Saya ngobrol terus. Istilahnya belajar gitu. Gak mungkin. Bahasanya. Dan dia sibuk. Gimana caranya? Ya, udahlah. Dimana dia taruh kamera, saya ikutin. Jadi, sampingnya. Pokoknya saya ikutin. Dia pindah angle, saya pindah angle. Jadi, kesimpulannya dari ini. Dia the best itu karena apa? Anglenya, variasi anglenya. Terus, dia bilang, saya simpulkan bahwa seorang kameramen. Gak boleh merasa capek. Apalagi untuk mencari angle yang bagus. Gak ada tuh istilahnya.

Jadi, yang saya bisa tarik pelajaran itu, saya simpulkan ya. Bukan dari omong-omong. Bahwa seorang kameramen. Dia mau tidak mau kayak director in mind. Ya, kalau di dokumen director in mind. Jadi, itu yang saya dapat. Saya dapat bahwa jangan menyerah. Sulit itu bagian kita. Ya kan? Mencari angle. Memang sulit. Cuman, kenapa kita cari angle yang sulit? Karena itu punya makna. Gitu.


KEPUTUSAN BERALIH DARI FILM DOKUMENTER KE FILM CERITA PART I


JULITA PRATIWI:

Nah, Pak. Kan tadi Bapak sempat cerita ketika Bapak menjadi kameramen newsreel. Terus masuk ke dokumentar ya, Pak. Pasca 1970 ke 1973. Itu dikarenakan lebih ke tugas negara. Tugas dari PFN.

Nah, ketika akhirnya Bapak mutusin untuk berkiprah menjadi penata kamera untuk film cerita. Itu bagaimana sih, Pak? Boleh cerita gak titik-titik peralihannya? Dan apa sih driven (motivasi) yang paling besar, gitu? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya, sebenarnya sih ini tugas juga, ya kan? Tugas juga yang tadi kalau gak salah saya sentil dikit bahwa PFN mau bikin film cerita yang dulunya news dulunya ini dengan kondisi zaman mencoba. Dan dipanggil Almarhum Arifin C Noor. Nah, saya gak tahu kenapa saya dicalonkan untuk dampingin. Ya kan.. Saya gak tahu. Yang tadi saya udah cerita ya.

Dan saya kenal banyak orang yang tahu bahwa repot dengan Mas Arifin tuh. Karena dia semacam expressionist, dia improvisasi. Dan improvisasi. Karena kalau dia bikin skenario kadang-kadang bisa berubah. Kadang bisa berubah. Dan itu kita harus siap. Harus siap. Jadi, saya ditugaskan ikut. 

Nah, pertama Harmonikaku. Terus kan tadi saya ini. Ini ada adegan yang saya ingat. Pemainnya tuh Fahrul Rozi. Masih anak-anak. Skenario mengatakan Fahrul Rozi berjalan di malam hari. Di malam yang sepi.

Saya ingat Almarhum Syuman. Dia bilang, kalau kita kasih cahaya gak boleh langsung. Iya, gak boleh langsung. Ini bukan menerangi katanya. Cahaya ini bukan hanya untuk menerangi. Tapi bagaimana membuat depth (kedalaman), bagaimana ini.

Jadi, kebetulan waktu itu lokasinya di Blok M ya. Melawai. Waktu itu gak seperti sekarang. Saya bilang, Mas Arifin tunggu sebentar. Kenapa? Kenapa? Saya mau. Saya ini anak-anak lighting. Siapa yang mau naik ke atas? Ada yang mau anak muda. Jadi, dia naik ke atas. Waktu itu dia dengan blonde ya. 2 kilo. Jadi, kasih disini, kasih disini, kasih disini. Jadi, Fahrul itu gelap, terang, gelap, terang gitu. Nah, saya ambil kamera itu. Agak high end. Jadi, pada saat adegan itu. Kita take dengan cahaya itu. Dan Alhamdulillah. Hasilnya itu bisa terasa. Bahwa Fahrul Rozi berjalan sendirian tengah malam. Sepi. Dapat.

Jadi, yang penting itu harus berani. Di samping itu juga anak lighting harus dikasih ini. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Itu lampunya ditaruh di atas ruko? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Di atas ruko.


Muhammad Firdaus, ICS:

Gedung. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Iya, di atas ruko. Saya nggak mau sejajar atau apa. Nggak bisa. Karena efeknya lain yang seperti tadi. Jangan menerangi.


Muhammad Firdaus, ICS:

Itu tadi kenapa lampu nggak boleh langsung ke orang? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Kesannya jadi menerangi. Menerangi. Bukan-bukan. Ini menatap cahaya. Gitu loh.

Jadi, jangan ini. Usahakan jangan langsung itu. Iya kan.. Jangan langsung. Dan itu saya ingat-ingat. Saya pegang gitu. Jadi, setiap kali ini saya berusaha untuk tidak secara langsung. Ya kan.. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Kalau yang dari atas gedung itu berarti itu posisi lampunya backlight gitu, Pak? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ada yang backlight. Ada yang ini. Mungkin lebih banyak sidelight. Disesuaikan dengan lampu. Lampu jalan.


Muhammad Firdaus, ICS:

Jadi, lampu itu buat mengganti lampu jalan. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Nyalanya dimana itu dikasih. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Oh, paham-paham.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Jadi, kita menambah intensitas cahayanya. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Lampu jalan itu. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Iya kan? Sebab waktu itu kan cuma 100 ASA. Iya kan? Jadi, kalau lampu jalanan kan. Kalau merkuri sekarang lebih terang.  Jadi, dengan 2 kilo itu dibantu. Itu sudah 22 ya, 228. 

Kemudian, Mas Ariefin bilang, saya pengen menggambarkan bagaimana psikologi itu begitu pengen harmonika. Pengen sekali. Gimana caranya? Oke, kita pilih etalase toko. Ya kan..

Nah, itu dipasang beberapa harmonika. Terus, Fahrul Rozi itu menempel di kaca etalase. Dan mulutnya diusahakan persis di lubang-lubang harmonika. Jadi, saya kasih backlight untuk Fahrul Rozi. Dan top light untuk harmonika. Hasilnya apa? Dan diusahakan bahwa Fahrul Rozi itu menggerak-gerakan bibirnya itu seakan-akan niup harmonika. Begitu digambar, terlihat hasilnya itu bayangan Fahrul Rozi seakan-akan lagi niup itu. Jadi, disitulah gunanya menempatkan lampu. Menempatkan ini. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Betul. Jadi, itu kayak ini yang dimaksud Pak Soleh. Jadi, lampu itu dia itu memang benar. Dia itu bukan sekedar menerangi. Jadi, ada objek kita terangi. Tapi, dia membentuk satu impresi. Ada satu kesan yang mau dibentuk.

Nah, ini kebayang. Jadi, kalau misalkan nanti yang dengar podcast ini mungkin bisa membayangkan tingkat kesulitan yang dihadapi Pak Soleh. Zaman itu mau bikin pencahayaan malam, kemampuan film zaman itu ASA 100.

Hari ini, kalau kita syuting pakai digital, itu kan bisa naik sampai 1600. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

1600, enggak ada masalah.


Muhammad Firdaus, ICS:

Enggak ada masalah. Zaman itu cuma punya film ASA 100. ASA-nya, jadi yang harus kita, supaya dia bisa ekspos dengan baik, berarti kemampuan kita menaruh lampunya di mana, hitung eksposurnya, apakah sesuai.

Jadi, misalnya dapat di (diafragma) 2.8. (Diafragma) 2.8 di ASA 100. Jadi, kalau kita bayangin ASA 100 dengan yang hari ini banyak dipakai, hari ini itu kan umumnya orang syuting itu di ASA 800 gitu Pak. Berarti itu kan ada selisih empat stop lah itu. Empat stop, jumlah yang besar gitu. Jadi itu, tahun berapa itu kira-kira itu Pak? Tahun berapa?


HM Soleh Ruslani, ICS:

Itu 1976.  Sekitar, eh. 1977, 1978. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Nah, kira-kira gitu tuh ininya ya. Yang bisa di... 


JULITA PRATIWI:

Komparasi antara menata cahaya di zaman itu mempertimbangkan ISO di filmnya yang hanya 100 dan hari ini yang berbeda banget. Dan zaman itu yang menentukan apakah berhasil atau enggak hanya sinematografer ya Pak. Karena kan tidak ada monitor ya yang melihat, tantangan terbesarnya.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Makanya disitu sinematografer. Itu harus benar-benar orangnya. Dia bukan saja matematis. Dia bukan teknisi. 


BUDAYA PENCAHAYAAN

HM Soleh Ruslani, ICS:

Saya kembali teringat. Waktu saya di London, baru turun, baru naruh koper. Pintu kamar saya diketuk. Saya buka. Dia bilang, introduce (memperkenalkan) diri. Saya ini chief lighting10 dari istana. Dia tanya. Bayangin. Kalau kita menganggap enteng ya, chief lighting. Dia bilang, Bapak pakai ASA berapa? Ya kan? Terus Bapak mau f-stop berapa? Dan mau dari kiri atau kanan yang keras? Saya bilang, Bapak enggak usah susah. Enggak usah mengukur lampu.

15 menit sebelum acara itu sudah selesai. Dia gambarkan ini ratu lewat kesini, lewat kesini. Makanya saya pikir, Aduh. Lighting saja tahu. Ya kan? Di kita masih berkutat. Waduh itu lighting cuma ini.


Muhammad Firdaus, ICS:

Ya jauh itu jauh. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya itu tadi dia bilang. Kita jauh ketinggalan dalam hal budaya lighting. Ya kan.. Kita menganggap rendah. Ya kan.. Dan itu bukan semua. Dogma ya. Ditekankan terus-menerus hampir tiap tahun. Dari kita baru belajar udah. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Kalau sekarang itu Pak sudah jarang itu. Yang jarang chief lighting atau gaffer itu dia nanya, Mau dapat f-stop berapa? Pakai ASA berapa? Itu udah jarang itu Pak yang nanya. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Asisten aja enggak.  Makanya setelah saya dari London, saya senang ngajar di KPU, di KPU, KFT.

Terutama lighting. Saya ngajarin mereka. Dan Alhamdulillah banyak yang jadi.


JULITA PRATIWI:

Ini maaf Pak KPU kursus di KFT. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Kelas pengetahuan umum. 


JULITA PRATIWI:

Kelas pengetahuan umum di KFT.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Enggak tahu sekarang masih ada nggak. Kalau dulu saya pengen, karena pengalaman itu. Pengen orang-orang kita tahu. Jangan menjadi orang yang cuma di perintah. Dia harus jadi tenaga itu bisa dibagi. Karena sinematografer atau DOP itu udah berpikirnya wawasan. Udah berpikir bukan masalah ini lagi.

Nah itulah. Jadi di sana yang membuat saya itu. Kita ketinggalan. Ketinggalan. Sangat ketinggalan.


JULITA PRATIWI:

Jadi menarik karena aku juga pernah ingat dulu itu ada yang pernah cerita di kelas tentang namanya itu aster ya. Lighting hanya asal terang. Ada istilah-istilah seperti itu.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Nah itu. Tadi dibilang. Asal nerangin jadi astrada. Asal terang, gambar ada. 


JULITA PRATIWI:

Jadi itu emang sempat dulu hits banget ya Pak. Kayak orang jadi, yaudah yang penting nerangin aja deh.

Dan butuh waktu dan pengalaman tertentu gitu. Sampai untuk mendorong cara melihat kita akan lighting itu bisa memberikan dimensi, storytelling, dan juga memperhatikan kultur dari lighting itu sendiri gitu Pak. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Jadi ini apa ya. Yang tadi astrada yang tadi pertanyaan ini. Dan banyak. 

Nah waktu itu saya berpikir saya harus mencari. Kebetulan saya ketemu Almarhum Arifin. Dimana masih banyak tuntutan. Kalau cari duit aja sih. Ya tadi asrada yaudah lah. Cincai gitu. Jadi saya merasa bahwa saya beruntung. Beruntung. 


KEPUTUSAN BERALIH DARI FILM DOKUMENTER KE FILM CERITA PART II 


Ini ya. Boleh saya lanjutin. Pada saat jeda. Artinya gak ada produksi film layar lebar. Saya dan Mas Arifin itu garap film dokumenter.

Dia bilang, jangan anggap dokumenter itu kecil. Film itu gak ada yang besar dan yang kecil. Yang ada, yang besar dan yang kecil itu orangnya. Ada orang besar dan orang kecil. Kalau orang besar, dia akan menggarapnya berbeda dengan orang kecil. Jadi itu sebenarnya apa. 

Kita mau menggarap koperasi. Jangan koperasi. Nah disini lah. Terjadi ya. Yang tadi. Bukan saja berteman. Tapi kadang-kadang jadi mentor. Ya kan. Seterada itu mentor. Nah disini Mas Arifin bilang. Koperasi. Koperasi itu kumpulan orang-orang masalah ekonomi. Ya kan. Jadi untuk credit title ini gambarnya apa? Kita gak bisa asal ini aja kan. Karena tadi dia bilang. Gak ada di film itu besar dan kecil. Film dokumenter ada film besar. Ya kan.

Jadi dia bilang. Apa nih? Secara visual itu gambar apa yang harus kita. Akhirnya dia bilang. Gimana kalau awal film itu dari ini. Dari nelayan. Yang mengambil jaring. Bersama-sama. Gotong royong. Itu harus di Pangandaran. Ya kita harus ke sana. Oke. Tadi itu satu titik ya.

Untuk credit title. Terus dia bilang. Ini mengenai koperasi itu kan. Dia berusaha untuk meningkatkan ekonomi. Anggotanya. Ini yang pantas lokasi syutingnya dimana.Dia bilang. Iya. Gimana aja yang buat ini. Gak bisa. Kita tadi udah ada kriteria ya. Meningkatkan. Berarti ini harus di daerah yang miskin. Kita kalau ambil di Jawa Barat gitu ya. Dengan padi yang hijau royo-royo. Terus gunung yang membiru. Gak bisa. Secara warna itu menunjukkan kesuburan. Menunjukkan kesuburan. Walaupun pada kenyataannya banyak koperasi di Jawa Barat. 

Tapi untuk film kita harus memberi alasan. Jadi gimana? Ya harus daerah yang istilahnya miskin. Tanda kutip ya. Miskin itu ditandai dengan warna film yang bagaimana. Yang coklat. Yang warna tanah. Nah kalau gitu dimana? Ya yang paling gak harus di kampung nelayan. Karena rumah-rumah nelayan waktu itu rumbia seng. Seng yang udah ini. Terus warna-warna itu mendem.

Oke. Jadi ditempatkan. Nah sekarang jadi dia mengguide kita. Soal warna soal ini. Terus suatu saat dia minta saya pengen nelayan-nelayan ini berangkat bersama-sama pada malam hari untuk melaut. Saya kan bayangin dia perlu gambar long shot.

Aduh gimana nih. Udah. Saya mau. Karena kenyataan waktu itu saya cuman dikasih 6 atau berapa ya. Yang 600 watt-an. Terus genset yang 3,5 KVA. Aduh. Sementara dia mau. Dia bilang oke. Saya bisa laksanakan itu dengan saran bendung nelayan-nelayan itu supaya berangkatnya sama-sama. Kedua saya minta setiap perahu minimal satu petromak. Kalau bisa dua petromak. Terus saya akan syuting setelah subuh. Dimana saya bisa dapat magic hour. Jadi saya ambil lokasi dekat muara. Dimana background itu masih ada gundukan-gundukan bangunan hitam. Langit udah biru.  Lampu yang tadi 6 kecil-kecil itu hanya filler. Karena nggak mungkin. Filler aja.

Jadi pada saat yang ditentukan itu ayo go. Perahu-perahu itu baru naik. Jadi saya mengambil refleksi dari petromak yang di air ke muka perahu, badan perahu dan ke muka nelayan. Kamera saya agak high angle. Dan alhamdulillah berhasil. 

Jadi saya ingat Pak Wagimin yang Pak Adi itu bilang, jangan karena kuantitas kamu lalu berhenti. Berhenti untuk melakukan sebuah eksplorasi. 

Dan terakhirnya, dalam film itu, yang saya ingatnya, ada adegan malam hari seorang ibu menjahit baju anaknya yang robek. Sementara itu, anaknya tertidur, nyenyak, padahal ada nyamuk, digit. Mas Arifin menggambarkan betapa sayangnya si ibu terhadap anaknya.

Dia dengan jari, saya close up jari itu, dia deketin nyamuk itu dia. Jadi bagaimanapun kelihatan betapa sayangnya, walaupun ada nyamuk ini, dia nggak mau pukul. Karena kalau pukul, anaknya terbangun. Dia begitu sayang sama anaknya, sehingga nggak ini. Itu sangat menyentuh, saya bilang. Itu yang di luar ini.


JULITA PRATIWI:

Boleh tau Pak, apa judul film ini? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Judul yang tadi, Koperasi. Dokumenter gitu. Jadi, makanya tadi saya bilang di awal bahwa nggak ada film yang besar dan kecil.

Jadi dokumenter diperlakukan ya? Film. Bukan apa-apa gitu. Film. Dia lakukan itu. Jadi perlakuan kita nggak beda. 


PFN DAN FASILITASNYA 

JULITA PRATIWI:

Aku sedikit penasaran Pak. Karena ya kita bisa membayangkan lah PFN di zaman itu cukup besar lah. Sebagai sebuah perusahaan film. Dan juga dari segi fasilitas teknologi. Untuk para profesional filmnya pun juga tersedia. Dan aku penasaran. Mungkinkah Pak untuk kita mendapat gambaran. Pasca Bapak tidak lagi di PFN. Untuk menyesuaikan dengan fasilitas teknologi yang berbeda gitu ya.

Antara yang mungkin dulu di PFN dan di luar itu. Itu bagaimana Pak distribusi peralatan. Dan juga mungkin dari segi laboratoriumnya ya. Karena kan laboratoriumnya juga ada. Laboratorium terpusat. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya. Waktu itu. PFN memang kelihatan ini. Kenapa? Direkturnya Pak Dipo Yono (Gufron Dwipayana11).

Ya kan? Pak Dipo, itu ini bina graha ya. Kesayangan. Itu besarnya kan. Bayangin aja. Ya ini saya cerita ya. Dia kapan waktu itu dia bisa.

Sebenarnya. Cuman kan pengetahuan tentang film itu terbatas. Terutama peralatan atau apa itu terbatas. Dan tidak mengikuti perkembangan film. Ya kan? Kalau dia itu bisa hebat. Lebih hebat.

Karena ini bukti aja. Suatu saat saya diminta sama Mas Arifin. Menggarap Serangan Fajar. Beliau mengatakan, saya ingin gambarnya sepia. Gitu. Saya bilang oke sepia. Tapi mungkin lebih kental warna sepia itu. Kalau syutingnya dengan black and white. Ya kan? Secara teori itu begitu.

Pada saat itu. Itu langsung. Langsung order ke Amerika. Karena waktu itu black and white tidak ada. Order ke Amerika untuk mendatangkan black and white. Itu karena saya ini ya. Yang dipercaya untuk itu. Jadi disana bahwa bisa. Kalau dia tahu.

Saya tahu dasar daripada. Roger Deakins. Dia kan pada waktu itu dia bikin sepia. Foto apa ya. Tiket atau apa. Itu nggak berhasil. Karena dia pakai monochrome atau apa ya. Dan teknologi waktu itu kan belum seperti sekarang. Kalau sekarang kan mungkin dengan ini bisa ya.


MASA KEEMASAN PERFILMAN INDONESIA? 

Muhammad Firdaus, ICS:

Kita ke ini Pak. Disebutkan itu tahun 70-80 itu sering dianggap sebagai masa keemasan sinema Indonesia. Pak Soleh pernah dengar kalimat itu? Setuju atau enggak Pak? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Kalau saya, kalau secara kuantitas memang benar. Karena waktu itu ada regulasi kan. Setiap yang mendatangkan impor harus bikin film.

Nah itu sebenarnya karena paksaan dari pemerintah. Ya kan? Kalau enggak ada paksaannya enggak mungkin. Nah. Jadi itu yang membuat orang berlomba membuat film. Tapi nggak pernah terpikir bagaimana membuat peralatan yang modern. Mas Fauzi.. 

Waktu Harmonikaku. Belum cerita ya. Saya enggak ada tuh yang namanya dolly. Terus takalnya apa? Saya pakai belarak tau enggak? Belarak kelapa. Ya kan? Daun kelapa. Yang jatuh, yang kering. Saya ini kan begini. Saya duduk disitu diseret. Hanya untuk saya dapat traveling shot. Betapa minimnya. Ya kan? Pada saat itu minim sekali. 

Ya kita mau macam-macam ya. Enggak berani lah saat itu. Tapi bisa dibayangkan. Kalau toh secara kuantitas memang. Tapi karena regulasi. Bukan karena ini. Regulasi. 

Yang tidak pernah disentuh. Atau dipikirkan itu. Bagaimana mengembangkan dengan peralatan. Terutama kamera. Ya kan? Coba aja. Kita waktu itu masih pakai 2C. Arriflex. 2C. Pada itu kan udah. Udah enggak patah. Saya waktu di Inggris itu diusir-usir sama kameramen. Eh go home. Boy. Go home. Karena apa? Suaranya, bunyinya itu mengganggu. Mengganggu sound dia. Saya anteng aja. Karena enggak dapat gambar. 

Nah. Orang cuma tertuju kemajuan film itu karena jumlah. Bukan karena. Aduh. Kita bisa udah pakai Crane. Kita pakai ini. Ya kan? Dolly. Lampu. Kita enggak kenal yang namanya. HMI. Kinoflow. Softlight. Atau PAR. Karena orang enggak berpikir. Dengan segitu aja gambar udah jadi kok. Gitu. 

Nggak pernah terbayang bagaimana. Gambar itu harus jadi kayak lukisan. Kayak ini. Jadi ya disana. Ini orang kita itu cuma. Ya maaf ya. Kemajuan itu ya. Firdaus maju. Ya karena Firdaus bisa bangun rumah. Gitu ya. Gitu.

Dan orang kita sama ini. Karena apa? Maaf. Anak jajahan. Anak jajahan. Lalu memandangnya gitu. 


JULITA PRATIWI:

Mungkin aku mau lanjutin dikit tadi ya.

Poin yang udah dipertanyakan sama Mas Daus. Berarti bisa dibilang ada semacam paradoks dong Pak. Maksudnya dengan narasi besar masa keemasan sinema Indonesia yang dilihat dari segi kuantitas film yang banyak diproduksi setiap tahunnya.

Tapi ternyata dari Departemen Sinematografinya sendiri itu tidak mengalami keemasan gitu ya. Dalam arti tadi teknologi-teknologi atau segala macam peralatan pendukungnya itu tidak didorong untuk kita update peralatan yang baru atau teknologi pendukungnya diperkaya gitu ya. Jadi kayak tetap bisa dibilang masih struggle gitu Pak. Masih berjuang gitu. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya kalau satu iklim politik sangat mempengaruhi apapun juga. Nah orang seakan-akan dibungkam.

Jangan berlebihan berpikir. Yang ada ajalah ya kan. Makanya kemajuan itu cuma di ini-in dengan materi. Oh berhasil dengan jumlah produksi segini. Tapi nggak pernah berhasil. Bagaimana di sini, di Jakarta ini ada yang untuk service kamera ya kan. Service dolly atau nggak ada. Nggak ada. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Betul-betul. Sampai hari ini. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Sampai hari ini. Nggak terpikir. Padahal itu yang penting. Karena dengan kondisi kamera, kamera lensa ya kan. Itu menentukan kualitas dari gambar. Ya kan? 

Saya kadang-kadang aduh repot ya. Menggunakan cinemascope ya kan. Sementara ujung-ujungnya tuh udah melengkungnya nggak ini. Cuman adanya itu. Kita sewa pada orang ya. Perorangan. Nah kalau kita nggak mau, yang lain udah antri. Ya kan? Berebut. Berebut.

Apalagi ya kan? Jadi susah. Sementara orang berpikir ada, mestinya kemajuan itu bukan berarti ini. Kita lengkap. Ya kan? Orang mau sekolah belajar lengkap. Orang mau menggunakan kamera. 

Saya pernah diminta oleh apa ya, oleh produser Malaysia. Kemudian saya syuting di sana. Dan saya ditempatkan di tempat di sana namanya apa tuh. Pusat perfilman ini. Nah di situ ada tempat buat mondok. Harganya murah lagi. Dan di ujung belakang itu ada laboratoriumnya. Ya kecil. Terus ada studionya. Ada perlengkapan kameranya. Ada apa? Filter. 

Nah bayangin. Kok kita nggak pernah berpikir itu? Ya kan? Mestinya kayak, maaf tadi PFN. Udah jangan berproduksi dulu. Ya kan? Bikin kalau rental. Tapi rental yang bagus. Dan harganya murah. 

Sekarang saya terus terang. Nolongso. Harganya seorang sinematografer. Kalah dengan sewanya. Kamera. Kalah kan? Betul kan? Ironis sekali. 


Muhammad Firdaus, ICS:

 Lebih mahal barangnya. Alatnya. Betul-betul. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Itu kalau dulu waktu Arriflex masih inilah. Tapi sekarang Jegita. Ada Arri, Alexa, Red, berapa? Perhari itu 18 juta. Ya kan? Coba 20 hari berapa? Itu kan menyita. Apa pemerintah cuma melihat kemajuan itu dari jumlah film aja? Ya kan? Mestinya ini yang dibenahi.

Mestinya bagaimana caranya pemerintah meringankan beban produksi. Dengan apa? Peralatan yang canggih. Tapi yang istilahnya itu diakui bahwa itu lulus tes atau apa. Standar industri. Itu mestinya. Jadi kalau sekarang, saya bilang, saya kalau sekarang jadi ini.

Makanya sering saya nilai manusia di kita. Sinias. Itu jauh. Ya kan? Bagaimana kita baca seorang membintangin film di barat aja. Satu aja. Ya bisa hidup kok. Sekian puluh tahun. Ya kan? Waduh.

Kita yang berkali-kali ini. Kita gak pernah tercatat. Ya kan? Mas Firdaus bikin ini. Coba. Terasa kan? Nah ini, ini yang harus menjadi fokus. Perjuangan.

KFT ya. Gunawan tuh. Udah membuat kompetensi. Udah ini. Cuman ini gak bisa jalan. Karena apa? Itu dia gak bisa jalan sendiri kan. Harus ada ini pemerintah. Ya kan? Kemauan pemerintah. Dan ada kemauan dari produser. Mengakui kompetensi. Betul. Jadi kita berjuang tuh mesti ada disitu. Ya kan? Kita sayang. Saya dari 2018 ikut terlibat membahas itu. Kompetensi. Sehingga kita berhasil menghimpun 13 profesi. Itu bukan main-main. Tapi apa selanjutnya? Kita gak bisa kalau pemerintah tidak ada kemauan. Gak bisa. Terus instansi yang lain juga. Sangat gak bisa. Itu. Jadi. 


HUBUNGAN ANTARA JURU KAMERA


JULITA PRATIWI:

Oke kita lanjut ya Pak.

Tadi menarik banget pas Pak Soleh bercerita tentang masa keemasan sinema Indonesia di 70-80an yang gak dibarengin dengan kesadaran untuk meningkatkan kualitas dari teknologi kamera dan pendukungnya gitu. Dan itu membuat aku juga, aku dan Mas Daus jadi penasaran tentang sebenarnya bagaimana akhirnya di zaman itu para profesi kameramen atau sinematografer untuk membangun ruang belajar bersama tuh Pak ketika ada teknologi baru. Dan bagaimana sih Pak kayak koneksi networking antara dari satu kameramen ke kameramen lain proses belajarnya bagaimana? Boleh ceritain gak Pak dan berdasarkan pengalaman Bapak? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya kalau saya teringat ya masa lalu itu. Ya sebenarnya ya kita masing-masing gitu. Gak ada ini. Ya walaupun ya masing-masing bersaing. Masing-masing bersaing gak ada ini. 

Cuman saya beruntung. Saya tadi dengan Pak Wagimin, terus tadi disebutkan Akin. Saya pernah jadi asistennya jadi ini. Yang saya pelajari dari Akin itu apa. Bagaimana dia mengoperasikan zoom lens. Bagaimana dia halus gitu. Itu saya pelajari itu. Bagaimana dia ini. Kalau lighting apa kan udah dapet.

Saya waktu itu kan jadi asisten itu untuk memenuhi target. Kalau dulu kan harus tiga kali jadi asisten. Jadi target itu harus dipenuhi dulu. Yang terjadi adalah memang waktu itu ada pengukuhan ada apa ya. Sehingga timbul mau tidak mau. Like and dislike itu bisa terjadi. Dan lebih banyak kita itu tidak diarahkan. Diarahkan pada sesuatu yang menambah.

Untungnya saya ini rajin. Rajin misalnya ada dari Amerika. Saya ikut. Saya pelajari itu, dari Australia. Soal laboratorium. Saya ikut. Karena itu saya sendiri yang rajin. Bukan karena diarahkan atau apa. Yang penting pada saat itu iklim politiknya masih-masih enak sekali. Jadi tidak banyak yang kita lakukan. Orang masing-masing istilahnya tanda kutip menyelamatkan dirinya. Dan antara ini tanpa disadari itu saling bersaing. Saling bersaing.

Tidak jelas kumpulannya itu tidak jelas. Tidak jelas bagaimana meningkatkan kualitas. Kualitas lighting atau apa itu. Cuma masing-masing hidup sendiri saja. Karena apa? Karena terbatas. 

Sangat terbatas dan tidak memberi peluang, gimana sih caranya maju, gimana caranya ini, gimana bergaul dengan orang asing, gimana. Saya waktu di Malaysia, itu mereka takut disaingin, saya bilang kita bangsa serumpun, kenapa kita harus. Mereka khawatir orang Indonesia itu bisa menyingkirkan orang Malaysia.

Jadi pertanyaan tadi dari Juju, saya hanya bisa menjawab bahwa masing-masing berusaha sendiri. Masing-masing bagaimana, apa ya, survival. Walaupun ini tetap saja, bahwa produser itu menguasai, mengatur, ya kan, mengatur. Dan tidak banyak kesempatan yang diberikan. 

Maksudnya dulu, saya maaf, ini bukan rasialisasi. Untuk mengalahkan itu, saya berusaha lewat apa, lewat bagaimana saya berhasil di FFI. Karena kalau tidak ini hilang, tidak akan dilirik orang. Gitu. 


JULITA PRATIWI:

Jadi mendapatkan kayak nominasi dan memenangkan piala citra itu memberikan posisi tawar tersendiri bagi seorang penata kamera di zaman itu, Pak? 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Iya. Paling gak itu merupakan kredit poin. Ya kan? Kredit poin. Dan itu mau tidak mau menjadi jualan. Ya jualan. Paling tidak sutradara apa. Saya gak kenal Mas Slamet Rahardjo. Dia teater populer, saya teater kecil, Mas Arifin. Beliau datang ngajak saya. Itu gak ini. Saya pikirkan dia dengan George (Kamarullah) dengan ini. Karena George (Kamarullah) gak tahu. Pada saat itu dia minta saya. Dan saya berusaha membuktikan bahwa pilihan dia tidak salah. Karena saya tahu ruang lingkupnya itu. Tidak mungkin kalau kita tidak punya ini. Tidak mungkin. Jadi sangat-sangat aneh. Saya waktu itu single fighter. Cuman memang saya berusaha kalau ada kesempatan saya buktikan bahwa saya pengen jadi seseorang. Jadi saya gak kenal Mas Slamet. Gak kenal Chaerul Umam. Nggak kenal. Mereka yang lain. Cuman untungnya mereka tahu saya istilahnya jebolan dari Mas Arifin. Mereka tahu. Jadi paling tidak mereka tahu bahwa saya ini ada lah. Bisa diandalkan. Jadi banyak teman. Karena ini kondisi begitu ambil jalan pintas.

Yang tadi penting astrada. Yang penting 1 tahun itu bisa 5-6 produksi. Saya dengan Mas Arifin kadang-kadang 1 tahun 1. Kadang-kadang 2 tahun, 3 tahun 1. Kita cuman enjoy aja, seneng aja. Jadi tadi maaf pertanyaan saya, pertanyaan itu saya jabarkan dengan sesuatu pada saat itu. Yang saya rasakan itu. Kalau saya tidak melakukannya sendiri, gak akan ditolak.


JULITA PRATIWI:

Dan zaman itu lazim gak sih Pak buat seorang kameramen kayak entah memiliki peralatan teknologinya sendiri?


 HM Soleh Ruslani, ICS:

Itu keluarganya Tan tuh punya peralatan sendiri. Punya peralatan sendiri, nah itu salah satu selling point mereka. Dengan dia dengan peralatan lebih murah katanya. Macam-macam. Saya gak punya, gak berpikir. Saya cuman jual-jual ini aja. Gak ada, gak ada yang. Nah banyak, itu dari 5 itu semua punya. Lighting, itu sampai ada dolly12, kamera. Jadi mungkin produsernya memilih mereka ya. Lebih murah. Jadi kalau mereka sakit apa ada yang gantiin saudaranya. Itu. Ya zaman itu ya kalau mau dibilang survive (bertahan). Survive ya.

Bagi beberapa orang gitu. Saya gitu, saya gak mau. Saya seperti kayak Syuman. Detail kita, gelar kita itu di layar. Jadi kalau nama saya tertulis di situ, paling gak bertanggung jawab terhadap hasilnya. Kira-kira itu.

Ini mungkin yang menarik ya, menarik. Tadi udah saya ini sedikit tentang Serangan Fajar. Tentang bagaimana Pak Dipo tuh order Black and White. Ya kan? Terus Mas Arifin itu bilang, saya bikin bukan rekonstruksi sejarah. Ya. Saya hanya bikin, mau membicarakan manusia di sekitar yang dalam pusaran sejarah itu. Ya kan? Saya gak mau rekonstruksi. Kalau rekonstruksi berat, kan datanya harus ini berapa tahun. Yang saya tandain, yang menarik, mungkin orang Jawa akan ini. Saya bilang, saya pengen film saya ini kayak pagelaran Wayang Kulit. Ya kan? Wayang Kulit. Berarti ada gunungan, ada pasewakan, pertemuan itu ya kan? Terus ada disitu goro-goro. Ya kan? Ada perang. Ya kan? Kalau udah mau jam 5 pagi itu perang. Dan itu dilakukan.

Untuk gunungan, saya ambil merapi, pakai lensa zoom, dengan filter 85 ND 3. Ya kan? ASA 100 gitu. Dan saya gunakan apa? Teknik frame by frame. Kalau dulu kan belum ada ya. Jadi ada alat khususnya frame by frame. Saya hitung tiap 5 detik 1 frame. 5 detik 1 frame. Jadi kalau kita mau, kita hitung aja. Kalau 1 menit, berarti 60, 60 dibagi 5 ya. Berarti kan berapa tuh? 12. Kalau cuma satu ini. 

Sementara kalau kita mau, tayang itu 2 menit. Kalau 2 menit berarti 120 frame. Ya kan? 120 frame berarti kalau dibagi dengan ini berarti berapa tuh? Dibagi 5. Ya kan? Dibagi 5. Nah hasilnya itu ditayangkan sekitar itu. Jadi gunungan itu dibikin dengan gunung merapi. Kemudian pasewakan.

Pasewakan itu dia introduce tokoh yang disitu bahwa tokoh itu tokoh priyayi bangsawan. Yang pada saat itu, pada saat zaman pergolakan itu. Itu dilanda ya. Dilanda akan perubahan. Ya kan? Perubahan. Dan keluarga itu bilang bapaknya sebagai ketua keluarga priyayi itu bilang kita semua akan berubah. Jangan bergantung pada status kita. Ya kan? Keluarga kita sekarang bukan terlalu kecil. Keluarga kita adalah keluarga Indonesia. Jadi disitu saya ambil. Saya tidak pernah ambil frontal. Saya menyamping. Ya kayak posisi wayang saja. Jadi tidak pernah frontal. Dan kalau ada gerakan yang ke kiri-kanan ya gitu. Atau kanan-kiri kayak di kelihatan. Karena mengikuti tema atau ide daripada. Itu jadi pergolakan itu di introduce bagaimana keluarga itu.

Nah kemudian selanjutnya adalah keluarga miskin. Keluarga miskin itu kan keluarga Temon. Temon itu semacam perekat. Perekat ya untuk istilahnya menggantungkan. Menyambung cerita yang mungkin janggal atau apa ya. Temon itu kalau kita bisa bikin merupakan batang tubuh dari cerita itu. Ya kan. Merupakan benang merah. Dan Temon itu anak 6 tahun itu merupakan personifikasi anak-anak Indonesia pada zaman peperangan itu. Jadi Temon bukan siapa-siapa. Dia hanya perekat. Ada sedikit ini tentang yang menyangkut sinematografi. Keluarga ini keluarga miskin. Tinggalnya di rumah gede. Ya kan. Bajunya kumel. Sekalian bayangkan. Ini coklat.

Warna kulit orang itu coklat. Baju juga kumel. Terus paling tikar ada ini. Ini jadi masalah. Sama seperti kita foto orang hitam, pakai baju hitam, latar belakangnya hitam. Kalau kita salah, itu ternyata dengan black and white itu harus lighting itu dipenuhi benar. Nggak bisa kalau color kan sedikit aja bisa muncul. Ini black and white itu pada saat itu. Jadi saya harus banyak menggunakan backlight. Supaya apa? Muncul. Membedakan antara objek dengan background. Dan saya lebih banyak side light. Nggak ada yang frontal. Dan backlight. Nah itu salah satu.

Temon ini dibikin tokoh yang tadi bilang ini. Tapi Mas Ariefin itu membuat Temon sebagai wakil itu. Tiap anak Indonesia seumur dia pada saat itu kehilangan orang tua bahkan harta benda. Dan temon itu kehilangan bapak. Makanya setiap kali itu dia selalu mengejar bapak, bapak. Saya nggak ceritakan guru-gurunya yang ada disitu. Perangnya ada. Memunculkan Soeharto. Perhubungan tentang senjata terhadap Jepang. Tapi saya fokuskan pada temon. Temon itu setiap kali ada kereta api lewat. Dia kejar. Dia selalu bilang bapak, bapak. Dan selalu orang yang lebih tua dari ini, dari pak leknya dianggap bapak. Pengejaran ini merupakan pencarian.

Nah suatu saat saya ingin mungkin Mas Firdaus ini saya bikin di rel kereta menjauh. Terus kanan-kiri ini gundukan tanah. Raya kereta api itu. Saya taruh kamera pakai high head. Low angle. Saya tunggu. Saya tunggu agak backlight. Supaya apa? Bayangannya temon itu ada depan kamera. Dia mengejar. Menjauh gitu. Mengejar sebuah katanya seakan-akan rel kereta itu bersatu. Dan di sana ada bapak.


Muhammad Firdaus, ICS:

Penutup kalau nggak salah itu, Pak. Penutup film itu. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya ini supaya saya lewatin yang lain-lain. Saya berusaha kenapa backlight? Kenapa ini? Supaya kelihatan ini apa sih? Balok-balok itu. Muncul. Kalau nggak backlight, nggak muncul. Jadi kan kelihatan dia betapa panjangnya. Betapa jauhnya dia berlari. Dengan berteriak, Bapak, Bapak. 

Iya kan? Sementara di sana pengejaran, pencarian itu sia-sia kan? Karena raya kereta apa yang kelihatannya menyatu ternyata begitu didatangi itu berdua juga. Dimana cahaya yang dia harapkan, cahaya harapan gitu ya. Nah. Ini jadi terkesan kisah tamuan mencari Bapak. Iya kan? Dan tidak terputus pada itu aja, pencarian. Sampai suatu saat terakhir ya, Temon naik pesawat F5 Eagle mengejar Bapak.

Nah itu-itu sesuatu yang ironis. Orang tidak pernah bilang, Bapakmu udah gak ada. Pada saat itu semua orang tabuk. Bapakmu itu lagi pergi. Iya kan? Jadi di situ Mas Arifin menggunakan media wayang kulit dan dia menggunakan temon sebagai tadi perekat benang merah. Itu salah satu.


EFEK FOTOGRAFIS 

JULITA PRATIWI:

Ya Bapak termasuk yang suka menggunakan efek fotografis ya. Terakhir aku juga sempat nonton filmnya Pak Soleh yang Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa. Ada satu scene yang Bapak memanfaatkan slow motion dan fast motion pada satu scene yang sama ya. Iya. Itu juga bagian dari impresi fotografis yang Bapak pengen kasih sama Pak Arifin.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Karena ceritanya bagaimana sih menggambarkan ini orang sakit jiwa. Kan sulit. Jadi yang saya usahakan adalah menggunakan slow motion dan fast motion. Itu adalah gambaran dari mungkin pandangan dia sebagai orang yang sakit jiwa. Sehingga begitu ini itu tergambar bahwa apa yang dia lihat itu gak normal. Nggak lazim. Itu efek itu yang ingin saya capai. Karena dengan dialog atau apa. Sulit. Sulit.

Ya pada saat itu ya apa salahnya kita coba. Dan ya itu salah satu yang saya. Dan waktu itu kan pakai aki basah ya. Pakai aki basah. Bagaimana yang dari 12 volt menjadi 2 volt. Supaya apa. Bisa fast motion. Jadi memang. 


HARAPAN UNTUK ICS

Muhammad Firdaus, ICS:

Terakhir mungkin Pak.

Harapan-harapan. Harapan-harapan. Harapan dari Pak Soleh buat teman-teman yang ada di ICS Pak.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Iya kalau saya pikir ya. Dan saya harapkan. Dengan adanya ICS. Ini organisasi yang udah mulai terbentuk, udah jelas. Dan menjadi kesatuan. Ya kan? Kalau saya lihat saya tiap tahun hampir jadi juri. Dan saya lihat yang terutama sinematografi itu semua orang-orang ICS. Maka itu sudah merupakan kemajuan. Ya kan? Kemajuan.

Itu jelas. Bagaimanapun itu ICS sudah merajai. Yang merajai FFI. Itu yang jelas. Kalau sutradara saya bisa. Tapi ICS sebagai sinematografi sudah menapakan kakinya dan kalau tidak dikatakan menguasai. Dan saya bersyukur dari hasil yang ini. Berhasil. Berhasil. 

Terus terang berhasil karena apa? Kalau masalah kompetensi itu biasa. Karena ada faktor-faktor X yang mungkin tidak Tadi ya. ICS sudah merupakan sebuah kesatuan. Sudah jelas arahnya. Tidak seperti apa? CCI gitu ya. 


JULITA PRATIWI:

Perkumpulan Kameramen Indonesia.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya kan? ICS itu sudah maaf di belakangnya orang-orang pintar. Dan anggotanya juga orang-orang pintar. Mestinya dengan kenyataan bahwa tiap FFI menguasai harus berbangga hati. Cuman kita jangan terlena. Ya kan? Paling tidak harus bagaimana meningkatkan. Ya kan? Karena saingan kita bukan di lokal aja. Ya kan? Harus keluar. Baru kita bersaing. Kalau kita cuman ini nanti jadi jago kandang. Ya kan? Nah itu. Saya sudah percaya dengan organisasi ini. Saya kan yang istilahnya mengikuti dari awal. Ya kan? Mengikuti dari awal. Makanya saya bilang, dari kalibata tengah pindah ke sini. Ini secara fisik aja.

Visual itu ada kemajuan. Ya kan? Lepas dari apapun. Dari bentuk visual gitu. Di sini kita bisa menghirup udara segar. Melihat pohon-pohon ini. Ya kan? Kalau disana, aduh. Maaf aja. Jalan aja capek saya. Naik ke atas, capek. Ya ini bukan badan. Dari bentuk visual dari tempat aja sudah memberikan keyakinan. Ya kan? Meyakinkan kita bahwa ini harus lebih maju. Artinya kita jangan cuma bermain di kandang. Kita harus. Itu. Harusnya cukup gitu ya. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Terima kasih banyak Pak Soleh. Waktunya. Paparannya, cerita-ceritanya.


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya mudah-mudahan menarik. 


Muhammad Firdaus, ICS:

Menarik Pak. Banyak pelajaran bisa diambil, banyak catetan bisa diambil. 


HM Soleh Ruslani, ICS:

Ya mudah-mudahan. Itu saya memberi contoh.


PENUTUP

JULITA PRATIWI:

Ya teman-teman, sampai di sini podcast kita. Program Telisik Sejarah diinisiasi oleh Indonesian Cinematographer Research Center. Bekerjasama dengan Lenscope Film Research dan didukung oleh Kemendikbud Ristek, Danai Indonesia dan LPDP.

Sampai jumpa kembali di episode podcast-podcast selanjutnya. Terima kasih. 



Catatan:

1Director of Photography istilah lain untuk Sinematografer atau Penata Kamera. 

2Termasuk film kanon dalam studi film. Battleship Potemkin merupakan film kunci yang disutradarai oleh Sergei Eisenstein di tahun 1925. Film ini dipuja karena teknik montage-nya yang cukup kompleks. 

3Photoflood adalah  jenis bohlam lampu pijar yang dirancang untuk digunakan sebagai sumber cahaya kontinyu untuk pencahayaan fotografi.

4Soemardjono (31 Maret 1927 - 28 Agustus 1998) adalah seorang produser, penyunting adegan dan editor film indonesia.

5Ami Prijono adalah seorang penata seni, aktor, sutradara film Indonesia. Adapun film yang pernah ia buat adalah Dr. Siti Pertiwi kembali ke Desa (1979) dan Roro Mendut (1982).

6MD. Alif merupakan seorang penata artistik dan pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ).

7Pelonco merupakan kiasan untuk menjelaskan masih terlalu muda dan kurang berpengalaman.

8Gestapu adalah kependekan dari Gerakan September Tiga puluh (Gerakan 30 September), suatu istilah yang digunakan tentara untuk menyebut peristiwa penculikan enam jenderal di Jakarta.

9Gelora Indonesia merupakan seri program newsreel yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara.

10Pimpinan Departemen Tata Cahaya, istilah lain lazim dikenal dengan Gaffer.

11Brigadir Jenderal TNI Drs. Gufran Dwipayana atau lebih dikenal dengan nama G. Dwipayana adalah salah satu sutradara televisi Indonesia dan juga mantan Direktur Pusat Produksi Film Negara (PPFN) (1978-1990). Gufron Dwipayana akrab disapa Mas Dipo atau Pak Dipo.

12Dolly merupakan peralatan pendukung dengan perangkat rel yang dimanfaatkan untuk pergerakan track.









The ASC was established to formalise the role of and distinguish cinematographers from camera operators, but it had more to do with practicalities and problem solving. In the silent film era, movie cameras were generally heavy hand-cranked machines, and the centre of gravity of the US film industry was shifting from the east coast to the west. The technology and the medium were new, so camera operators everywhere faced common difficulties, such as annoying white streaks on footage, caused by static electricity. The east-coast based Cinema Camera Club, formed by a team of Edison’s camera operators, and the Static Club of America, based in Los Angeles and led by Universal’s Harry H Harris, collaborated on solutions to these issues, pooling their wisdom. Soon enough, Edison cinematographer Phil Rosen suggested a national organisation to his Hollywood colleague Charles Rosher.

“It’s not just about making pretty pictures,” says Mandy Walker, whose CV includes Hidden Figures, Australia and the forthcoming Mulan.

Rachel Morrison, the first woman Oscar-nominated for cinematography, on the set of Mudbound. Photograph: Steve Dietl/AP

‘I loved working on The Love Witch because I was able to recreate a lot of the lighting from the 50s and 60s,’ says cinematographer David Mullen. Photograph: Allstar/ Oscilloscope

Watch the trailer for Leave No Trace, shot by Michael McDonough

Related Articles