Saat membuka lembar awal buku sejarah sinema di Indonesia narasi kerap diawali dengan pemutaran film di Tanah Abang di tahun 1900. Selang berapa halaman, bahasan beralih pada produksi film fiksi awal yakni Loetoeng Kasaroeng pada 1926. Apa yang sungguh terjadi pada periode pertengahan yang merentang dari 1900 hingga 1926? Timbul kesan butuh seperempat abad bagi negeri ini dari yang hanya menikmati tontonan gambar bergerak (film reception) hingga memutuskan untuk memproduksi film. Terhitung yang mencatat perkembangan yang terjadi pada periode ini. Ada yang memberikan klu bahwa produksi film non fiksi sudah mulai dipraktekkan saat ini. Lagi-lagi, sayangnya masih sedikit.
Semangat produksi pada era awal adalah menselebrasi kemampuan teknologi kamera dalam melakukan ‘perekaman.’ Alat yang efektif dalam merekam realita yang ada - ‘recording reality.’ Geliat ini sesungguhnya mendapat pengaruh kental dari Lumière Bersaudara saat mereka memutuskan mengirimkan 12 filmoperateur cinématographe ke segala penjuru (Google Arts & Culture). Tradisi merekam realita secara cepat melanda dunia. Para filmoperateur dari belahan dunia utara terkhusus Eropa antusias melakukan ekspedisi film di negeri timur tropis. Upaya membuat rekaman budaya pada masyarakat daerah (film kultuur), merekam lanskap geografis, pertumbuhan tata kota, kehidupan masyarakat, bahkan produk komoditas. Terbentuklah kategorisasi non fiksi yang merentang dari film kultuur, film alam, travelogue, newsreel hingga reklame. Objek perekaman semacam ini menjadi pola yang terbentuk pada dekade awal perekaman di negeri-negeri koloni.
(Willy Mullens melakukan perekaman gambar di atas perahu di Hindia Belanda. Sumber: Spaarnestad Photo)
Praktik perekaman di negeri koloni ini yang membuat keberadaan seorang filmoperateur atau juru kamera memiliki posisi tawar yang cukup diperhitungkan. Filmoperateur atau cameraman menjadi istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda dan Inggris ini kerap digunakan untuk menjelaskan seseorang yang berprofesi mengoperasikan kamera gambar bergerak. Dapat dikatakan ini model profesi awal yang menjadi cikal bakal dari profesi sinematografer di kemudian hari. Bisa dibilang ini termasuk profesi tertua, jika disandingkan dengan profesi di departemen film lain seperti sutradara, produser ataupun penulis skenario. Tidak sedikit filmoperateur yang ditugaskan untuk melakukan perekaman di Hindia Belanda – baik oleh pemerintahan ataupun perusahaan film. Dari puluhan nama yang mengemban pekerjaan ini, hanya terdapat sejumlah nama yang terarsipkan dengan baik melalui surat kabar. Adapun mereka yang tercatat melakukan ekspedisi di bawah naungan institusi – sebut saja JC. Lamster di bawah Koloniaal Instituut pada 1912 - 1923[1], Metman dipayungi Nationale Filmfabriek pada 1921[2], W. Mullens di bawah Hague Film didanai Bataafsche Petroleum pada 1921 dan untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Belanda pada 1926 - 1927[3], IA Ochse untuk Nederlandsch Indische Film Maatschappij (NIFM) pada tahun 1925[4], Newman di bawah Warner-Vitaphone pada tahun 1924-1925[5], Lola Kreutzberg dari UFA Jerman pada tahun 1925-1926 dan 1928. Nama-nama filmoperateur di atas ini tercatat karena kiprah karir mereka yang juga telah terbentuk di perfilman negaranya. Dukungan dari institusi dan perusahaan cukup membantu mereka dalam mendapatkan sokongan peralatan kamera, akomodasi tinggal, hingga jalur distribusi film yang jelas.
Namun tidak sedikit diantara mereka yang memanfaatkan proses ekspedisi untuk kepentingan membuat film personal. Sebut saja Lola Kreutzberg – seorang filmoperateur perempuan asal Jerman yang memiliki ketertarikan terhadap ragam satwa dan alam negeri ini meluangkan beberapa reel film yang ada untuk membuat film yang terlepas dari arahan UFA. Ia menghabiskan waktu rekam di kawasan Sumatera, Jawa, dan Bali – untuk memudahkan proses perekaman ia kerap membuat riggingan sederhana di dashboard mobilnya. Jurnal catatan yang menjelaskan proses ini terangkum dalam Tiere, Tänzerinnen und Dämonen. Sosok lain seperti Ph. Carli[6] dan G. Krugers-pun - dua sosok berdarah Belanda dan Italia ini memutuskan untuk membentuk kongsi (sebutan untuk perusahaan) film awal dan berkecimpung dalam produksi film non fiksi, sebelum berinisiatif untuk membuat film fiksi. Adanya kongsi menjadi satu cara agar material film yang mereka rekam memiliki legal kepemilikan yang jelas. Carli mengabadikan meletusnya Gunung Kelud, pembakaran mayat di Oeboed Bali, dan kegiatan pemerintahan Hindia Belanda. Demikian halnya dengan Krugers – yang meluangkan waktunya untuk produksi hal serupa.
(Ilustrasi Peta Ekspedisi Film era Hindia Belanda 1900-1920an[7])
Sebelum menjadi filmoperateur, tak sedikit dari mereka yang menggeluti profesi juru potret. Hal ini dikarenakan keahlian yang dimiliki tidak dapat dianggap mudah, mereka mesti akrab dengan perangkat mekanik kamera, prinsip kerja optik hingga ke proses develop film. Disamping itu, mode opname (istilah syuting dalam bahasa Belanda) sambil menjelajah membutuhkan kamera yang ringkes dan ramah-mobilitas. Kamera Debrie Parvo 35mm[8] dan Pathe Camera 35mm[9] yang diproduksi Perancis cukup digemari pada era ini. Iklim dan temperatur daerah tropis membuat perhitungan eksposur disini menjadi berbeda dengan opname di kawasan Eropa dengan iklim sub tropis. Dalam surat kabar Keng Po dijelaskan “Sajang itoe film tiada begitoe terang sebegimana moestinja, itoelah ada dari lantaran hawa oedara di Java jang ada amat beda sama hawa oedara di Europa di sini terangnja matahari tiga kali lipat lebih keras”[10]. Terhitung filmoperateur yang mampu menghasilkan imaji dengan eksposur yang tepat di negeri tropis ini.
Proses lain yang cukup menantang adalah ontwikkeld atau film development yang membutuhkan laboratorium film. Di sejumlah kota besar seperti Batavia, Bandoeng, dan Medan tercatat ada lab yang dapat memproses film ke dalam bentuk positif – jika tak memungkinkan, tidak sedikit juga yang membawanya kembali untuk diproses di Negeri Kincir Angin.[11] Krugers dan Carli termasuk dua sosok yang membuat lab studio tersendiri untuk memproses film mereka di kawasan Bandoeng dan Lembangweg. Ada yang menjelaskan lab mereka sifatnya masih primitif – hanya menyediakan cairan kimia dasar untuk memproses (developer, fixer dan stop bath), sejumlah tabung, dan ruang pengering. Mungkin dikarenakan masih sedikitnya yang memiliki keahlian dan pemahaman akan proses ini pada zaman itu – timbul kesan seorang filmoperateur -pun dituntut untuk menguasai proses development. Bukan hanya Krugers dan Carli, Kreutzberg-pun demikian. Dalam jurnalnya – pasca pengambilan gambar di Bali, ia disiplin untuk melanjutkan proses development dimana ia tak tahan hawa panas berkali lipat dalam kamar gelap di negeri tropis.
Dari ekspedisi film yang memakan waktu berbulan-bulan dengan cakupan wilayah Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi menghasilkan sejumlah film. Lamster yang sejauh ini tercatat sebagai filmoperateur pertama yang melakukan perekaman di Hindia Belanda, bersama Koloniaal Institut merilis Autotocht door Bandoeng (1913), Het dokken van een schip in de haven van Tandjong Priok (1913), Reis Willem I - Djocja (1913), Het leven van den Balier in de desa (1918). Film-film ini telah direstorasi dan dapat diakses di Eye Film. Ochse - NIFM merilis Naar tropisch Nederland (1926), Java- Soemba (1928), De Rietsuiker Cultuur op Java (1928), dan seri De Maha Cyclus (1929). Kreutzberg yang dapat diasumsikan sebagai filmoperateur perempuan pertama yang datang ke Hindia Belanda dengan Allerlei Volksbelustigungen in Java (1927), Indonesische Tropenkultur (1927) dan Wunderland Bali (1927). Mullens dengan Padi-cultuur in Indië (1927), Mooi Bandoeng (1927), dan Bezoek aan Djokjakarta en Soerakarta (1927). Tidak lama bagi film-film ini memperoleh sambutan yang baik dari penonton di negeri Eropa, antusiasme perlahan merosot karena keberadaan film fiksi. Dikarenakan nilai tawar yang semakin kecil, terdapat institusi yang memutuskan gulung tikar ataupun berganti haluan produksi fiksi. Alhasil, film-film ini kerap dimanfaatkan untuk studi etnografi dan antropologi di kemudian hari.
Jika melihat gegap gempita ini dalam bingkai imperialis, kamera gambar bergerak hadir menjelang berakhirnya praktik kolonialisme yang selama ini dijalankan. Ada pretensi ingin mengabadikan kontribusi koloni pada sistem tata kota di tanah seberang. Adat istiadat dan ritual adat yang otentik dan geografis alam yang eksotis. Citra Hindia Belanda sebagai surga tropis di timur seberang-pun turut dilanggengkan dengan adanya medium gambar bergerak. Filmoperateur dituntut untuk bisa jeli dalam menangkap momen dan membingkai peristiwa aktual tersebut secara tepat. Ditambah keahlian dalam mengatur eksposur di kondisi tropis yang terik dan film development. Mereka memiliki peran dalam mengabadikan wajah peradaban Hindia Belanda pada era awal abad 20. Lalu, bagaimana dengan fase berikutnya saat film cerita masuk..? Apakah ada tawaran dan sistem dari profesi ini?
[1] Sumber Lamster
[2] Nieuw Weekblad Cinematografie Thn III No. 36, 5 Juni 1925.
[3] “Hindia Belanda ke Atas Film oleh Willy Mullens” Filmlamd Thn 1 No. 12 Desember 1927.
[4] ‘Hindia Belanda ke Atas Film’ Nieuw Weekblad Cinematografie Thn III No. 36, 5 Juni 1925. Terj. Md Aliff.
[5] ‘Pekerdja’an film di Hindia’ Perniagaan 6 Agustus 1924.
[6] “De filmoperateur Carli” De Preanger Post 18 Agustus 1926.
[7] Ilustrasi peta tidak menitikkan lokasi perekaman secara spesifik, sifatnya general hasil intepretasi dari materi arsip koran yang menjelaskan lokasi penjelajahan mereka.
[8] Willy Mullens, Ochse dan Lola tercatat menggunakan kamera Debrie Parvo.
[9] JC. Lamster termasuk sosok awal yang menggunakan dan memperkenalkan kamera Pathe 35mm ke Hindia Belanda. Kemudian sosok di akhir 1920-an yang juga mengggunakan ini yakni Nelson Wong.
[10] “Film Battling Key v. Wm Voll” Keng Po 13 September 1923
[11] ‘Ekspedisi Pembuatan Film’. Het Vaderland, 29 April 1921. Terjemahan Md. Aliff.

 
                             
                             
                             
                     
                     
                     
             
                                     
                                    