Sekilas Pandang Antara Kuantitas dan Kualitas: Wajah Sinematografi Indonesia 1966-1990

Sekilas Pandang Antara Kuantitas dan Kualitas: Wajah Sinematografi Indonesia 1966-1990

By ICS Research Center & Lenscope Film

01 December 2024

Wajah Sinematografi Indonesia periode 1966 hingga 1990 memasuki sebuah babak baru. Mulai adanya dukungan pada level produksi hingga apresiasi, munculnya genre film yang ragam, hadirnya sineas generasi baru, dan meningkatnya jumlah produksi film periode 1970 hingga 1980-an. Adapun istilah lain yang kerap disematkan adalah masa keemasan sinema Indonesia. Namun, bagaimana korelasi penyematan istilah ini dengan perkembangan wacana dan praktik sinematografi pada periode ini? Tentu babak baru ini menghasilkan kategorisasi Penata Kamera yang ragam.

Wajah Sinematografi Indonesia periode 1966 hingga 1990 memasuki sebuah babak baru. Meskipun transisi rezim dari Orde Lama ke Orde Baru pada pertengahan 1960-an, sempat mengalami stagnasi. Beberapa hal yang menghambat saat itu diantaranya saat bahan baku film mulai melonjak tinggi, dominasi film impor, dan situasi panasnya politik. Tahun 1970-an menjadi titik balik dari kondisi stagnasi. Pasca tahun 1973 menjadi awal bagi bangkitnya perfilman nasional. Mulai adanya dukungan pada level produksi hingga apresiasi, munculnya genre film yang ragam, hadirnya sineas generasi baru, dan meningkatnya jumlah produksi film periode 1970 hingga 1980-an1. Adapun istilah lain yang kerap disematkan adalah masa keemasan sinema Indonesia. Namun, bagaimana korelasi penyematan istilah ini dengan perkembangan wacana dan praktik sinematografi pada periode ini? Dalam edisi Sekilas Pandang kali ini, kami akan menelisik bagaimana institusionalisasi lembaga pada rezim Orde Baru memberikan pengaruh terhadap perkembangan sinematografi itu sendiri. Namun, mesti menjadi catatan bahwa masa yang dianggap “emas” ini meninggalkan paradoks tersembunyi dibaliknya. Masa keemasan tidaklah dibingkai dengan satu cara pandang, namun adanya upaya untuk membacanya secara kritis.


Pertumbuhan Produksi Film Indonesia (Sumber: Filmindonesia.or.id) 


Masa “emas” ini acap kali ditandai dengan peningkatan jumlah produksi film (lihat grafik di atas), dimana hal ini tak dapat dilepaskan dari meningkatnya jumlah perusahaan produksi film. Tak dapat dielak, geliat ini juga mendorong bursa permintaan tenaga profesional teknis seperti Penata Kamera yang memiliki keahlian dan pemahaman pengambilan imaji fotografis dan penataan cahaya. Kehadiran institusionalisasi lembaga pendidikan non-formal seperti kursus diharapkan mampu menyuplai kebutuhan sumber daya tenaga profesional, dikarenakan pendidikan formal diploma secara durasi pendidikan tidak sungguh cepat dalam menyuplai kebutuhan tersebut2. Kondisi seperti ini alhasil memunculkan karakter Penata Kamera yang aktif dan identik dengan banyaknya kuantitas film yang ia kerjakan. “Aktif di-calling” menjadi satu istilah khas yang terasosiasikan dengan karakter ini. Ada yang meyakini bahwa Penata Kamera bersama tim (dalam Departemen Kamera dan Lighting) telah memiliki sistem kerja cepat/ efektif dalam menentukan titik posisi kamera untuk pengambilan adegan dan set up lighting khususnya scene interior. Menurut keterangan Sjamsuddin Jusuf, beberapa pekerjaan masih merangkap – Penata Kamera atau akrab juga dengan Juru Kamera/ Cameraman mesti mengoperasikan kamera dan bertanggung jawab terhadap lighting3. Hal ini tentu karena jam terbang dalam set dan adanya ritme kerja berkesinambungan yang cukup formulaik. Treatment pengambilan adegan master dan cover shot over the shoulder ataupun medium shot. Namun, hal yang cukup disayangkan sistem ini tidak sungguh mengakomodir bertumbuhnya proses kreatif desain visual yang cukup intens. Sekalipun ada, rasio kemungkinannya amat sedikit. 


Produksi yang serba cepat, pragmatis, dan kerap merespon kebutuhan pasar memunculkan pertanyaan akan mutu dan kualitas film-film Indonesia. Gagasan akan pentingnya mutu dan kualitas juga mulai disirkulasikan oleh Turino Djunaidy - sutradara film, dan Rosihan Anwar - pemerhati film, di mana keduanya pernah menjadi dewan juri FFI sebagai upaya untuk mengimbangi narasi kuantitas film yang kerap meningkat4. Terdapat sejumlah skema pendanaan yang menjadi program Dewan Film Nasional (DFN) diharapkan mampu mendistribusikan bantuan pendanaan produksi film-film bermutu5. Ada kecenderungan kebijakan kredit yang sengaja mendorong kuantitas film yang begitu banyak, nanti dengan sendirinya akan ada film-film bermutu yang bermunculan. Mutu dan kualitas untuk menegaskan wajah sinema Indonesia pada hari itu diemban-tugaskan pada perhelatan yang sebelumnya lebih dikenal sebagai Pekan Apresiasi Film Nasional. Sebuah inisiasi yang pada mulanya mencari film Indonesia terbaik untuk menjadi representatif pada ajang festival regional seperti Festival Film Asia Pasific. Setelah diselenggarakan tiga kali dengan rentang waktu yang cukup panjang dari 1955-1960-1967, akhirnya perhelatan ini dapat diadakan kembali dengan nama baru Festival Film Indonesia pada 19736


Dalam sudut pandang aspek gaya atau stilistik, FFI menjadi menarik dikarenakan untuk kali pertama Sinema Indonesia memiliki kategorisasi Tata Kamera Terbaik, Tata Artistik Terbaik, Penyuntingan Terbaik, Tata Suara Terbaik, Tata Musik Terbaik. Tidak terpusat hanya pada Skenario Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Tata Peran/ Pemeranan Terbaik, dan Film Terbaik semata. Ini tentu menjadi nilai tawar bagi pertumbuhan wacana stilistik pada sinema tanah air. Bahwasanya film sebagai karya tidak bisa digeneralisasi, namun harus dapat diuraikan berdasarkan kekhasan bentuk dan gayanya. Meskipun pada praktiknya tidak mampu dihindari adanya dinamika pro-dan-kontra akan hasil penjurian setiap tahunnya, namun upaya untuk kerap mengevaluasi mekanisme dan sistem penjurian agaknya kerap diupayakan. Laporan Pertanggungjawaban dari Dewan Juri hendak dipublikasi pasca perhelatan di media cetak sebagai bentuk press release transparansi kepada masyarakat film ataupun umum7. Pro-dan-kontra ini dapat pula dilihat sebagai upaya partisipatoris masyarakat film untuk menentukan wajah sinema mereka tanpa adanya intervensi dari kuasa (pemerintah) atau pihak manapun.


Alih-alih dalam sudut pandang penulisan historiografi, film maupun Penata Kamera yang meraih nominasi bahkan pemenang untuk kategori Penata Kamera/ Pengarah Kamera/ Penata Fotografi Terbaik8 perhelatan Festival Film Indonesia menjadi cukup signifikan untuk menelisik kembali bagaimana wacana estetika sinematografi ataupun estetika gaya/ stilistik digulirkan. Kehadirannya dapat dibaca sebagai upaya untuk menantang praktik produksi film yang banal dan pragmatis. Dari sekian banyaknya film yang diproduksi setiap tahun, ada sejumlah film masih jeli dalam mempertimbangkan aspek penceritaan yang baik dan kesadaran isu sosial. Bagaimana aspek stilistik/ sinematografi itu sendiri dalam merespon cerita – sinematografi sebagai alat penceritaan atau membingkai kejadian/ momen di dalam film. Tersimpan satu nilai tersendiri pada imaji fotografis yang dihadirkan. Kamera tidak lagi dilihat sebagai alat rekam, tetapi juga aparatus kreatif untuk membangun makna ataupun nilai tertentu. Hal ini disinyalir melalui kemampuan teknis, wawasan wacana fotografis, pengalaman kerja, latar belakang pendidikan dari Penata Kamera tersebut – belum lagi aspek kolaboratif dalam menempa desain visual dan eksekusinya dengan Sutradara, Penata Artistik, dan jajaran pendukung dalam Departemen Kamera dan Lighting. Dalam tulisan ini, akan dipetakan profil Penata Kamera yang mendapatkan penghargaan dalam perhelatan festival dan kategori Penata Kamera yang disting dari bentuk dominan. 


Karakteristik Penata Kamera yang posisinya di tengah antara kuantitas film yang banyak, namun juga ada sejumlah film yang terhitung berkualitas. Hal ini terasa betul pada sosok-sosok seperti Akin, Lukman Hakim Nain, Sjamsuddin Jusuf, Tantra Surjadi, Soleh Ruslani, Soetomo Gandasubrata, dan F.E.S Tarigan. Akin panggilan akrab untuk Andi Sadikin (dahulu dikenal dengan Tjhan Kok Kin) telah membuat 82 film panjang sepanjang 35 tahun berkarir sebagai Penata Kamera dari 1957 hingga 19929. Sepanjang karirnya, ia berkolaborasi dengan sutradara Bachtiar Siagian, Turino Djunaedy, dan Teguh Karya. Turang (Bachtiar Siagian, 1957) yang merupakan film keduanya dan kolaborasi pertama dengan Siagian mendapatkan penghargaan untuk film terbaik dan sutradara terbaik perhelatan Pekan Apresiasi Film Nasional ke-2 di 1960. Ia sendiri mendapatkan penghargaan Penata Kamera Terbaik untuk film 2x24 jam dalam perhelatan yang ketiga. Ia meraih kembali Piala Citra untuk kategori sama pada Cinta Pertama (Teguh Karya, 1974) dan Jangan Ambil Nyawaku (Sophan Sophiaan, 1982). 


Lukman Hakim Nain sendiri dari 60 film yang ia buat selama 37 tahun kiprahnya dari 1954 ke 1991. Penata Kamera yang terkadang menyutradarai film ini dikenal sering berkolaborasi dengan Wim Umboh dan beberapa kali dengan Teguh Karya. Pada perhelatan FFI ke-4, Lukman Hakim Nain mendapatkan penghargaan untuk Piala Citra Penata Kamera Terbaik dalam film Perkawinan (Wim Umboh, 1973). Kemudian, ia raih kembali untuk film Dikejar Dosa (Lukman Hakim Nain, 1975), Cinta (Wim Umboh, 1976), dan Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya, 1978). Sosok pengeker asli Minang ini juga pernah mendapatkan empat nominasi pada kategori yang sama, diantaranya Pengemis dan Tukang Becak (Wim Umboh, 1978), Ach Yang Benerrr… (Muchlis Raya, 1979), Bukan Sandiwara (Sjuman Djaya, 1980), dan Bila Saatnya Tiba (Eduard Pesta Sirait, 1985).


Kemudian, Sjamsuddin Jusuf selama 20 tahun karirnya dari 1957 ke 1977 ia telah menjadi Penata Kamera untuk 38 film panjang10. Ia mendapatkan rekognisi untuk Penata Kamera Terbaik di debut film pertamanya Anakku Sajang pada Pekan Apresiasi Film Nasional ke-2 pada tahun 1960. Penata Kamera yang pernah mengambil kursus di Multi Harleem, Belanda ini mendapatkan penghargaan kembali untuk film Petir Menjelang Malam (S.Waldy & Bill Manopo, 1967) dan Menjusuri Djejak Berdarah (Misbach J. Biran, 1967), bersama dengan Akin di 2x24 jam - membuat tahun ini bisa dibilang kali pertama penghargaan kategori ini dimenangi lebih dari satu kandidat, mengingat belum ada sistem nominasi yang diterapkan. Ia kembali mendapatkan penghargaan pada Ateng Sok Tahu (Hasmanan, 1976) di FFI 1977, tahun di mana ia berpulang. Selama karirnya di Departemen ini, ia kerap bekerja sama dengan Asrul Sani, Lilik Sudijo, Sjuman Djaya, dan Hasmanan.   


Tantra Surjadi telah membuat 31 film panjang sepanjang karirnya dari tahun 1972 hingga 199611. Tantra Surjadi mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk Penata Kamera Terbaik pada FFI ke-10 di 1979 untuk November 1828 (Teguh Karya, 1979) dan FFI ke-12 di 1981 Perempuan di dalam Pasungan (Ismail Soebardjo, 1981). Nominasi untuk kategori yang sama ia dapati untuk film Rembulan dan Matahari (Slamet Rahardjo, 1980), Ponirah Terpidana (Slamet Rahardjo, 1984), Secangkir Kopi Pahit (Teguh Karya, 1985), Terang Bulan di Tengah Hari (Chaerul Umam, 1988). Dia terhitung sebagai Penata Kamera yang juga Penyunting Gambar. Ia sosok yang juga dikenal kerap bekerja sama dengan sutradara dari Teater Populer seperti Teguh Karya dan Slamet Rahardjo. Ia pula yang awalnya menarik George Kamarullah untuk mengenal lebih jauh aspek teknis di balik layar dengan menjadikannya asisten untuk beberapa film-film yang ia kerjakan. 


M Soleh Ruslani yang berlatarkan kameraman newsreel untuk Perusahaan Film Negara memulai karirnya sebagai Penata Kamera film panjang pada tahun 1973 hingga 1997. Dai 24 tahun berkarir ia menghasilkan sekitar 30 film12. Ia telah mendapatkan Nominasi Penata Kamera Terbaik dalam Festival Film Indonesia untuk Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (Arifin C. Noer, 1980), Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1982), Titian Serambut di Belah Tujuh (Chaerul Umam, 1983), Joe Turun ke Desa (Chaerul Umam, 1990), Potret (Buce Malawau, 1991), Bibir Mer (Arifin C. Noer, 1992), dan Kuberikan Segalanya (Galeb Husein, 1992). Dari semua ini, ia meraih piala citra untuk Kodrat (Slamet Rahardjo, 1987) dan Cinta dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho, 1991). Sepanjang karirnya, ia dikenal akan kolaborasinya dengan Chaerul Umam dan Arifin C. Noer.  


Lalu, F.E.S Tarigan yang telah mendapatkan tiga nominasi melalui Cintaku di Rumah Susun (Nja Abbas Akup, 1987), Cas Cis Cus: Sonata di Tengah Kota (Putu Wijaya, 1989), baru ia raih pada Plong: Naik Daun (Putu Wijaya, 1991)13. Penata Kamera yang pernah menempuh studi di Moscow – VGIK ini telah membuat 36 film panjang dari 1972 ke 199714. Di luar dari itu, para Penata Kamera ini juga bekerja sama dengan sutradara lain dan mengerjakan film-film dalam ragam genre dari horror, komedi, hingga tragedi. Jika diperhatikan, tampaknya sutradara, kualitas cerita, dan perusahaan produksi yang cukup kooperatif menjadi faktor yang turut menguatkan rekognisi para Penata Kamera ini di kancah Festival Film Indonesia.


Soetomo Gandasoebrata yang sebelumnya lebih dikenal berkiprah di dokumenter mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk tiga film. Dari 22 film panjang yang terdata ia buat di luar dokumenter, ia meraih gelar Penata Kamera Terbaik untuk film R.A. Kartini (Sjuman Djaya, 1982) pada FFI 1983, Budak Nafsu (Sjuman Djaya, 1983) pada FFI 1984, dan Langitku Rumahku (Slamet Rahardjo, 1990) pada FFI 199015. Kemudian, Leo Fioole dari 29 film yang pernah ia buat sepanjang karirnya sebagai Penata Kamera dari tahun 1964 ke 198116. Ia mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk film Kabut Sutera Ungu (Sjuman Djaya, 1979).


Tantra Surjadi kala sedang mem-framing (Sumber: Majalah Film)


Di sisi yang berseberangan, ada kategori Penata Kamera yang secara kuantitas filmnya terhitung sedikit. Meski begitu, film-filmnya cukup dapat diperhitungkan dan bersirkulasi dalam ajang festival film. Sebut saja sosok seperti George Kamarullah. George Kamarullah telah berkecimpung dalam 22 film, 11 diantaranya ia menjadi Penata Kamera. Ia belajar langsung dunia Tata Kamera dan Penyuntingan dari Tantra Surjadi. Sama halnya dengan Tantra, George kerap bertanggung jawab menjadi Penata Kamera dan Editor. Seputih Hatinya, Semerah Bibirnya (Slamet Rahardjo, 1980) menjadi kali pertama George duduk di bangku Penata Kamera – ia berargumen bahwa menjadi profesi ini jauh lebih mencipta. Slamet Rahardjo yang kala itu melihat potensinya dalam mendesain konsep visual. Selain Slamet Rahardjo, George mulai menjadi Pengarah Kamera untuk film-film besutan Teguh Karya, Eros Djarot, N. Riantiarno, Bobby Sandi dan Arifin. C. Noer. Penata Kamera kelahiran Ambon ini meraih Piala Citra untuk Penghargaan Penata Kamera Terbaik melalui Doea Tanda Mata (Teguh Karya, 1985), Ibunda (Teguh Karya, 1986), dan Tjoet Nja’ Dhien (Eros Djarot, 1988). Dalam salah satu wawancara, ia pernah paparkan bahwa adanya atensi untuk memperhatikan skenario dan aktor yang baik pada film yang hendak dipilihnya. 


Ada satu lagi karakter yang dapat dikatakan filmnya tidak banyak, kiprahnya sudah terlampau cukup lama – namun tentu kesempatan untuk mendapatkan film bagus, sutradara bagus, dan perusahaan film bagus tidak melulu selalu datang kepada mereka. Sebut saja seperti Irwan Tahyar (dahulu bernama The Tjoan Chiang) dan Wagimin Adi Cokrowardoyo. Irwan Tahyar telah berkarir sebagai Penata Kamera pada 1952 dengan nama pseudonym Sofjan dan telah memproduksi 12 film17. Ia mulai menggunakan nama Irwan Tahyar semenjak 1974 hingga 1987, 13 tahun membuat film 17 film18. Penata Kamera yang pernah bersekolah di Centro Sperimentale, Italia ini mendapatkan nominasi untuk penghargaan Penata Kamera Terbaik pada film Akibat Kanker Payudara (Frank Rorimpandey, 1988). Wagimin Adi juga merupaka Penata Kamera yang mengawali karirnya sejak 1953 untuk film Meratjun Sukma (Bachtiar Effendi, 1953). Sosok pengeker yang pernah studi teknik kamera di Inggris ini tercatat membuat 9 film dari 1953 hingga 1988. Sementara itu, ada pula Max Tera yang telah aktif berkarir sebagai Penata Kamera selama 39 tahun dari 1950 hingga 1989 dan telah membuat 53 film. Meski filmnya Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954) dinobatkan sebagai film terbaik pada perhelatan pertama festival ini di 1955, tidak sekalipun ia pernah mendapat penghargaan untuk Penata Kamera Terbaik. Tentu ini menjadi satu catatan penting yang dapat ditelusuri lebih jauh. 


Dapat disimpulkan sementara bahwasanya kondisi semu 1960-an dengan disusul meningkatnya produksi 1970 hingga 1990 turut menghasilkan dualisme arah produksi film yang mempertimbangkan kuantitas semata dan upaya untuk tetap menjaga kualitas. Upaya menjaga kualitas ini amat terasa dari bagaimana institusi film pada saat itu seperti Dewan Film Nasional melalui skema pendanaan dan Yayasan Nasional Film Indonesia melalui Festival Film Indonesia sebagai wadah yang menjaga adanya dorongan eksplorasi terhadap mutu dan kualitas. Dalam aspek yang cukup mikro, ini mempengaruhi adanya karakteristik Penata Kamera yang ragam. Dari Penata Kamera dengan kuantitas film yang begitu banyak, Penata Kamera dengan kuantitas film banyak, namun tetap ada beberapa yang berkualitas, hingga Penata Kamera yang secara kuantitas film terhitung sedikit, namun jauh lebih mempertimbangkan kualitas yang dihasilkan. Tentu kualitas di sini dapat diperdebatkan dan diuraikan lebih jauh – apa aspek-aspek yang membuat kualitas imaji fotografis dari film tersebut lebih unggul pada masanya. Meski begitu, pemetaan ini diharapkan dapat menjadi panduan yang mengarah pada pembacaan lebih jauh aspek-aspek estetika/ stilistik di masa mendatang.


Sumber Referensi: 


1 “Akin Salawu.” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Akin_Salawu 

2 “Daftar Perayaan Penghargaan Festival Film Indonesia.” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perayaan_penghargaan_Festival_Film_Indonesia pada 24 November 2024. 

3 Filmography Irwan Tahyar diakses dari https://filmindonesia.or.id/nama/nmp4b9bad4ca545f/filmografi 

4 Filmography F.E.S Tarigan diakses dari https://filmindonesia.or.id/index.php/nama/nmp4b9bad396fb89/filmografi 

5 Filmography Tantra Surjadi diakses dari https://www.imdb.com/name/nm0839760/ 

6 Filmography Leo Fioole diakses dari https://www.imdb.com/name/nm1715683/ 

7 Filmography Sjamsuddin Jusuf diakses dari https://filmindonesia.or.id/nama/nmp4b9bad523b31a 

8 Filmography Soleh Ruslani diakses dari https://filmindonesia.or.id/index.php/nama/nmp4b9bad42d985a 

9 Filmography Soetomo Gandasoebrata diakses dari https://www.filmindonesia.or.id/nama/nmp4b9bad392184e/filmografi 

10 JB Kristanto, “Kredit Produksi Film Untuk Menumbuhkan Mutu dan Industri Sekaligus.” Nonton Film, Nonton Indonesia. Mei 1980. Dapat diakses kembali di https://filmindonesia.or.id/index.php/artikel/kajian/kredit-produksi-film-untuk-menumbuhkan-mutu-dan-industri-sekaligus 

11 “Maaf, mengapa juri bicara keras?” Tempo. 12 Maret 1977 

12 Madjalah Film, 1-10-1970. “Djuru Kamera Indonesia: M. Sjamsuddin Jusuf.”

13 Majalah Vista 100 Tahun 1990

14 “Pelaksanaan Kino Workshop Menunggu Apa Lagi?” Buletin KFT November 1972

15 Pengarah Sinematografi Terbaik Festival Film Indonesia diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pengarah_Sinematografi_Terbaik_Festival_Film_Indonesia 

16 Profil Biodata Akin. Sinematek Indonesia. 

17 “Sjamsuddin Jusuf” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sjamsuddin_Jusuf 

18 “W.A Cokrowardoyo.” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/W.A._Cokrowardoyo 










The ASC was established to formalise the role of and distinguish cinematographers from camera operators, but it had more to do with practicalities and problem solving. In the silent film era, movie cameras were generally heavy hand-cranked machines, and the centre of gravity of the US film industry was shifting from the east coast to the west. The technology and the medium were new, so camera operators everywhere faced common difficulties, such as annoying white streaks on footage, caused by static electricity. The east-coast based Cinema Camera Club, formed by a team of Edison’s camera operators, and the Static Club of America, based in Los Angeles and led by Universal’s Harry H Harris, collaborated on solutions to these issues, pooling their wisdom. Soon enough, Edison cinematographer Phil Rosen suggested a national organisation to his Hollywood colleague Charles Rosher.

“It’s not just about making pretty pictures,” says Mandy Walker, whose CV includes Hidden Figures, Australia and the forthcoming Mulan.

Rachel Morrison, the first woman Oscar-nominated for cinematography, on the set of Mudbound. Photograph: Steve Dietl/AP

‘I loved working on The Love Witch because I was able to recreate a lot of the lighting from the 50s and 60s,’ says cinematographer David Mullen. Photograph: Allstar/ Oscilloscope

Watch the trailer for Leave No Trace, shot by Michael McDonough

Related Articles