Sebuah artikel “Ahli Cinematografi Indonesia yang Pertama” dirilis oleh Starweekly1 -lah yang mengantarkan tim Telisik Sejarah pada sosoknya. Daya judul artikel ini tentu menarik perhatian kami sebagai peneliti. The Hoan Tjiang nama sosok itu. Ia baru menginjak usia 25 tahun saat menyelesaikan studi sinematografi di Centro Sperimentale Cinematografia di Roma, Italia. Meski terlahir dalam keluarga yang berkecimpung di dunia film, lantas tak membuatnya menutup diri untuk tidak menimba ilmu. Ia menjalankan studi ini selama 2-3 tahun dari 1954 hingga 1957. Dalam artikel tersebut, istilah sinematografi mulai dibingkai sebagai satu studi spesifik, “tidak saja pekerdjaan membuat opname-opname*, melainkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dengan itu: camera-work, lighting, keahlian mengatur lampu2 dan penerangan untuk opname, pengolahan film di dalam laboratorium.” Pengetahuan akan teknik pembuatan imaji (imagemaking technique) yang berangsur dari produksi hingga pascaproduksi.
The Hoan Tjiang yang kemudian hari dikenal sebagai Irwan Tahyar2 menjadi sosok Penata Kamera/ Sinematografer yang cukup unik. Karirnya kerap berseling di produksi dan pascaproduksi. Ia pernah men-supervisi proses cuci-cetak film di laboratorium dan di titik lain ia bertanggung jawab sebagai terhadap framing, camerawork, dan lighting dalam produksi film. Karirnya sebagai Penata Kamera ada di dua periode 1950-an dan 1970-1980-an, dua periode kunci dalam perjalanan sejarah sinema di tanah air ini. Ia mulai mengawali karirnya sebagai fotografer still untuk film pada tahun 1949/1950 di perusahaan film Bintang Surabaja/ Djakarta Film - yang didirikan oleh The Teng Chun dengan Fred Young. Ia menjadi Penata Kamera dengan nama pseudonym “Sofjan” untuk film Musim Bunga di Selabintana dan Dr. Samsi - berkolaborasi dengan sutradara perempuan pertama, Ratna Asmara. Kemudian, membuat beberapa film dengan Fred Young untuk Sorga Terakhir, Putri Solo, Lenggang Jakarta. Setelah vakum dikarenakan sekolah dan bekerja di Central Film Laboratory - PFN dari 1954 - 1960, beliau kembali menjadi Penata Kamera untuk film panjang di 1970 pertengahan ke 1980-an. Ia bekerja sama dengan beberapa diantaranya Fred Young, Frank Rorimpandey, Nawi Ismail, dan Ikhsan Lahardi. Pada tahun 1988, ia mendapatkan nominasi untuk penghargaan Penata Kamera Terbaik pada film Akibat Kanker Payudara yang disutradarai oleh Frank Rorimpandey.
Pada 8 November 2024, tim Telisik Sejarah berkunjung ke kediaman Pak Irwan Tahyar di Cengkareng pada pukul 10.00 - 12.00 WIB. Beliau yang telah menginjak usia 92 tahun masih memiliki memori ingatan yang cukup baik. Indra penglihatan dan pendengaran beliau tak lagi sebaik sedia kala. Namun, beliau sosok yang begitu hangat, ramah, dan gemar bercerita. Pertemuan ini tak akan terjadi tanpa ada dukungan dari Pak Wempi - Cinerent, Agni Ariatama, I.C.S, Pak Vincent - putra dari Pak Irwan Tahyar, dan Nia Riesthanty. Berikut merupakan transkrip wawancara dengan beliau yang telah tim Telisik Sejarah kurasikan:
Irwan Tahyar dan Awal Karir Film di Bintang Surabaja
Irwan Tahyar
Saya mulai di film tahun 1950. Tahun 1950. ‘51 Saya jadi Asisten Kamera, ‘52 jadi DOP.
Julita Pratiwi
Boleh cerita nggak Pak, waktu Bapak jadi Asisten Kamera di ‘51-’52 itu di [Perusahaan film] Bintang Surabaja ya Pak?
Irwan Tahyar
Itu waktu masih Bintang Surabaja. Bintang Surabaja itu kan joint antara saya punya ayah [The Teng Chun] sama Om Fred Young. Fred Young itu sebagai sutradara. Kebanyakan. Nah itu waktu tahun-tahun ‘50-’51 sampai ‘54 itu cukup ramai tuh [produksi] film.
Julita Pratiwi
Bapak waktu itu pernah bikin film sama Ratna Asmara, [berjudul] Dr.Samsi, Musim Bunga [di Selabintana]?
Irwan Tahyar
Ratna Asmara dia sebagai.. waktu sama saya, dia sebagai sutradara.
Julita Pratiwi
Film apa pak? Masih inget judul filmnya?
Irwan Tahyar
Dr. Samsi yang pertama saya bikin sama dia.
Julita Pratiwi
Waktu itu bagaimana? Bapak inget proses pembuatan film Dr. Samsi?
Irwan Tahyar
Maksudnya proses gimana tuh?
Julita Pratiwi
Proses kreatif bikin filmnya?
Irwan Tahyar
Ya waktu itu sih seperti kaya Ibu Ratna Asmara kan sebenarnya dia.. aktris/ pemain film, belakangan jadi sutradara di Bintang Surabaja. Waktu tahun ‘54 dia pernah juga sama-sama saya, kan saya meneruskan kuliah di Itali untuk sinematografi di Centro Sperimentale di Cinematografia. Nah Ibu Ratna waktu itu dia mau sebagai pendengar di sekolah itu. Tapi waktu belum sampai dia masuk, suaminya [Sutan Usman Karim] diangkat jadi Duta Besar di India. Jadi dia harus balik, nggak sampai dia ngikutin. Kalau saya terus sampai selesai.
Adegan Sukaesih menggendong bayi dalam film Dr.Samsi karya Ratna Asmara (Sumber: Kelas Liarsip)
Julita Pratiwi
Terus kalau film Ibu Ratna yang lain Nelajan ?
Irwan Tahyar
Ibu Ratna yang bikin sama saya sih dia pertama kali jadi sutradara yaitu Dr. Samsi, setelah itu nggak tahu lagi deh tuh dia ada bikin film dimana. Kalau di Bintang Surabaja sih setelah Dr. Samsi, itu tahun 1952. 1953 rasanya.. Pernah lagi cuman saya lupa.. bersama Pak Ariffien sebagai asistennya. Asisten sutradara. Sebelum itu dia sebagai pemain selalu. Banyak juga film dia jadi aktris. Tapi itu sebelum jaman Jepang. Artinya masih tahun-tahun 39-42. Dia banyak juga tuh. Waktu itu ada Tan Tjeng Bok. Saya inget tuh. Waktu itu saya masih anak-anak. Dulu juga ada Rempo Urip. Belakangan dia ke PERSARI. Dia banyak bikin di sana, di PERSARI.
Julita Pratiwi
Waktu itu Bapak masih inget nggak waktu Rempo Urip bikin film berwarna dengan Filiipina?
Irwan Tahyar
Rempo Urip waktu sama saya belakangan tahun berapa yaa.. Tahun ‘82 [tidak terlalu yakin] dia bikin Cobra, dia sebagai sutradara. Cobra itu film action yang artinya banyak berantem, sampai produsernya (men)datangi yang khusus train bagaimana berantem. Pakai silat gitu. Nah itu di tahun (‘82)/ 84/ 85.
Julita Pratiwi
Itu film Cobra sama Rempo Urip ya?
Irwan Tahyar
Ya itu sama Rempo Urip. Wah itu sutradara yang khusus untuk adegan silatnya didatangkan dari Hongkong, Peter Chan namanya. Dia buat bagian berantemnya. Sampai di air segala macam..
Pengalaman Sekolah di Centro Sperimentale Cinematografia, Roma, Italia
Julita Pratiwi
Boleh cerita pengalaman Bapak waktu sekolah di Italia, Bapak belajar apa saja di sana?
Irwan Tahyar
Saya belajar bagian kamera. Di sana sekolah itu, itu sekolah namanya Centro Sperimentale Cinematografia. Nah seberang sekolah itu ada studio film, studio film Itali Cinecittà namanya. Itu tersohor. Waktu zaman setelah Perang Dunia II. Dari Amerika (Serikat) bawa banyak grup dia bikin film War and Peace di Italia, banyak (mereka) bawa alat-alat. Setelah itu ditinggal alat-alatnya - waktu itu di Italia jadi banyak alatnya sehabis film War and Peace itu.
Julita Pratiwi
Bapak kan berangkat dari keluarga yang sudah di dunia film ya dari Bapaknya Bapak The Teng Chun, dan om-om paman-paman The Teng Hui. Semua ada yang jadi produser, sutradara, kameraman, sound designer/ recorder. Apa yang bikin Bapak sendiri ke sinematografi, nggak ke hal-hal lain?
Irwan Tahyar
Saya sendiri nggak tau. Saya sebenarnya sekolah saya kucar-kacir. Terus terang. Zaman Belanda sebelum Jepang masuk, saya sekolah Belanda. Sampai kelas 4. Tapi setelah Jepang masuk. Tutup sekolah itu. Sekolah Jepang. Campur bahasa Chinese sedikit. Nah setelah Jepang menyerah, saya sekolah lagi sekolah Inggris. Sin Hwa School. Tapi saya berasa sekolah Inggris itu kurang bisa maju. Saya di rumah dikasih les. Saya punya Papa lantaran dia sendiri pernah jadi guru. Saya dari kecil dikasih les. Basisnya bahasa Inggris. Zaman serikat masuk sini ya itu saya sekolah Inggris. Tapi ya Inggrisnya nggak bisa maju gitu. Saya berhenti disitu saya ambil les bahasa Inggris. Wah cepat majunya. 1 tahun lebih saya bisa cukup lancar ngomongnya. Nah setelah sekolah Inggris itu saya berhenti terus nggak lama pergi ke Eropa. Sekolah di Italia.
Julita Pratiwi
Itu pakai bahasa Inggris atau bahasa Italia?
Irwan Tahyar:
Dimana?
Julita Pratiwi
Di Centro Sperimentale?
Irwan Tahyar
Uh.. bahasa Italia dong. Wah bingung saya. Bahasa Italia belum pernah belajar. Sampai sana ada dasar-dasar. Saya satu hari pergi ke sekolahan naik trem. Ada satu siswa Amerika. Saya ngomong-ngomong. Gimana nih di sini saya sekolah tapi bahasanya belum bisa. Dia bilang Oh jangan takut pergi nonton film Italia. Dengerin terus. Di sana untung. Di Italia ada satu di rumah ada satu bioskop puter film nyambung terus. Habis itu dia puter lagi dari jam 5 sampai jam tengah malam. Jadi kita kalau duduk beli karcis sekali. Duduk aja di situ sampai tengah malam. Nggak bayar-bayar lagi. Ada bioskop begitu tuh untung. Jadi saya hampir setiap hari duduk di bioskop. Jam 5 selesai nonton terus sampai habis. Untung dia kasih tahu. Lo belajar apa yang orang ngomong lo dengerin. Dan setelah itu lo baca koran. Ini deh coba bikin ngerti. Nah suatu hari dia bilang lo akan bangun, akan merasa gampang ngeluarin kata-kata. Terus pernah suatu hari mengherankan juga sih. Saya bangun pagi kok rasanya gampang mengeluarkan kata-kata Italia.
Julita Pratiwi
Akhirnya Bapak bisa berbahasa Italia selama setahun?
Irwan Tahyar
Ya nggak lancar, artinya lebih gampang gitu mengeluarkan kata-kata. Mesti mikir dulu apa yang mau kita keluarkan. Nah terus itu saya belajar. Sambil les Italia sorenya. Siangnya sekolah. Sampai bisa. Di sana ada anak dari karyawan kedutaan besar Indonesia. Juga masuk sekolah situ yang saya sekolah. Nggak diterima. Pertama kan mesti dites dulu untuk masuk sekolah. Pengetahuan kita tentang film ini itu. Dia tuh belum punya pengetahuan sama sekali. Sementara dia dari Kedutaan Besar Indonesia. Tapi saya bisa. Untung lulus. Masuk sekolah. Dan terakhir selesainya. Waktu selesai sekolah. Saya dapat ranking nomor 2. Di sekolah itu. Artinya nomor 1 ada orang Italia, Sicilia, si Sara namanya. Dia nomer 1. Nomer 2 saya. Baru yang lain-lain. Satu kelas ada sekitar hampir 10 orang.
Julita Pratiwi
Waktu itu berarti Neorealisme Italia, sutradara-sutradara kaya Roberto Rosselini, Federico Fellini, itu jadi perbincangan di kelas atau mereka suka datang buat ngasih kuliah tamu?
Irwan Tahyar
Oh nggak.. Nggak .. Yang pernah datang ke sekolah yang saya sekolah film di Italia, Charlie Chaplin. Sampai ada buku-bukunya waktu banjir di Jakarta, habis, hanyut. Sayang tuh.. Charlie Chaplin pernah datang ke sekolah saya itu. Tapi kalau dari produser ini itu nggak ada yang mengajar. Nggak ada. Kebanyakan itu sekolah pemerintah. Bukan swasta. Jadi strict dia.
Dokumentasi Pengalaman The Hoan Tjiang/ Irwan Tahyar bersekolah di Centro Sperimantale, Italia (Sumber: Starweekly No. 605 3 Agustus 1957)
Pengalaman Kerja di Central Film Laboratory - PFN
Julita Pratiwi
Terus abis dari sekolah itu, Bapak pulang dan bekerja di PFN ya Pak?
Irwan Tahyar
Iya. Lantaran itu saya bukannya dapat bursa. Saya waktu itu kan kalau mau transfer uang susah kan. Nggak bisa sembarangan. Ada izin. Saya punya ayah minta ke PPDANKA untuk jadi .. kalau beli uang di pasar gelap 1 lawan 6. Di sini 6000 kita mau transfer, kalau di pasar gelapnya bisa jadi 6x lipat. Jadi saya dapat kemudahan untuk mentransfer uang dari pemerintah punya 1 lawan 3. Separunya. Dengan itu saya ada kontrak harus kerja sama pemerintah 1 tambah 2 tahun. Saya sekolah di sana dua tahun, jadi saya mesti 4 tahun sama pemerintah. Di film saat itu hanya ada PFN dari pemerintah.
Julita Pratiwi
Waktu itu Bapak kameramen atau bantu urus lab?
Irwan Tahyar
Nggak. Saya waktu itu [ditempatkan] di bagian Lab. CFL namanya. Central Film Laboratory. Sebenarnya sih.. Ya susah. Yang namanya pemerintah banyak.. Sebenarnya di sana di lab udah ada beberapa orang Amerika yang pegang lab sebetulnya. Tapi juga kerjanya nggak begitu banyak sih. Hanya kontrol. Liat yang sudah jadi filmnya. Bagus nggak.
Proses Membuat Film bersama Nawi Ismail dan Ikhsan Lahardi (1980-an)
Julita Pratiwi
Bapak waktu itu bikin film sama Nawi Ismail?
Irwan Tahyar
Pak Nawi berapa kali pernah. Di tahun-tahun 80’an. ‘83, ‘84, ‘85, ‘86 kalau nggak salah [sama] Pak Nawi. Pak Nawi sering bikin film WARKOP dia.
Julita Pratiwi
Proses kreatifnya masih inget Pak sama Pak Nawi gimana?
Irwan Tahyar
Pak Nawi itu sebenarnya dulu dia pernah bekerja di perusahaan saya punya orang tua. Waktu jaman di sini ada itu (menunjuk arah foto) - 30-an lebih, ‘38- ‘39. Ada grup foto. Ada nggak? (memastikan Pak Nawi ada di foto). Pak Nawi kebanyakan film komedi dia bikin. 2-3 kali saya pernah sama dia.
Julita Pratiwi
Kalau [kolaborasi] yang paling banyak dengan Pak Ikhsan Lahardi ya Pak?
Irwan Tahyar
Pak Ikhsan saya.. Setan Kredit, CHIPS, CHIP dalam kejutan, kita tergantung dari produsernya. Produsernya memilih sutradaranya siapa. Kemudian, kameramen nya siapa.
Menengok Teknologi Kamera dan Bahan Baku Film 1950-1980an
Julita Pratiwi
Apa Bapak masih inget waktu itu kameranya apa saja?
Irwan Tahyar
Waktu zaman tahun sebelum serikat, waktu Jepang menyerah itu masih banyak pake Wall camera, ada juga New Wall camera. Nah itu dari Amerika [Serikat] kameranya. Nah belakangan keluar Arriflex, itu dari Jerman. Ya enak sih. Handy. Dipakenya enteng. Bisa pegang. Buat handheld. Magazinenya juga bisa sampai 400 feet. Bisa juga yang 200 feet. Setelah kira-kira.. Ya waktu tahun 80-an lebih itu udah keluar Arriflex, semua beralih ke Arriflex. Kameranya. Nah ini Vincent dia bagian rental yang suplai alat kamera, lampu, dari Cinerent.
Julita Pratiwi
Tadi tuh Bell and Howell ya Pak kamera dari Amerika (Serikat)?
Irwan Tahyar
Yang Amerika, Bell and Howell.
Julita Pratiwi
Kalau [bahan baku] filmnya masih ingat nggak, Pak? Itu udah Kodak, atau AGFA?
Irwan Tahyar
Oh kebanyakan di sini pakai Kodak. Dikarenakan importirnya dari CV Karta, import waktu itu banyakan Kodak [era film berwarna]. Waktu masih hitam-putih itu campur ada Agfa, ada Gevaert, Gevaert juga banyak. Belgium punya. Gevaert, Agfa. Tapi Agfa nggak begitu banyak. Banyakan Kodak.
Julita Pratiwi
Fuji waktu itu belum, Pak?
Irwan Tahyar
Fuji.. Fuji belakangan ada.
Julita Pratiwi
Masih ingat tahun berapa?
Irwan Tahyar
Fuji keluar kalau nggak salah ya.. Kalau nggak salah tahun 80-an. 80-an kalau nggak salah mulai keluar Fuji.
Kamera Debrie milik Bintang Surabaja: Noiseless dan Reflect Viewfinder 1950-an
Agni Ariatama, ICS
Waktu itu Bapak syuting pakai Bell & Howell sama ARRI ya? Zaman-zaman awal syuting dulu Pak.
Irwan Tahyar
Waktu tahun berapa ‘50an?
Agni Ariatama, ICS
50. Iya.
Irwan Tahyar
Tahun ‘50an semua masih pakai tungsten.
Agni Ariatama, ICS
Nggak..nggak.. Kamera pak.. Kamera..
Irwan Tahyar
Saya kan syuting di Bintang Surabaja film waktu itu, tahun ‘52 Bintang Surabaja ada beli satu kamera.. kamera yang betul-betul noiseless artinya ambil suara tuh nggak kedengeran .. kita cuman denger dia jalan tuh.. Kuping kita nemeplin di kamera, baru denger kita jalan. Kalau nggak kita nggak denger.. Artinya itu kedap suara.. Itu buat ambil langsung suara enak emang.. Jadi nggak usah pakai ini itu.. Kalau dulu New Wall.. itu mesti dibungkus.. pakai bantal biar nggak kedengaran suaranya..
Agni Ariatama, ICS
Apa tuh merek kameranya Pak?
Julita Pratiwi
Nama kameranya apa? Yang dibeli sama Bintang Surabaja?
Irwan Tahyar
Itu tadi .. apa..
Agni Ariatama, ICS
Mitchell?
Irwan Tahyar
Bukan.
Julita Pratiwi
Bell and Howell?
Irwan Tahyar
Bukan. Bikinan Perancis.
JP & Agni Ariatama, ICS
Eclair?
Irwan Tahyar
Bukan. Apa barusan.. Debrie.. Debrie mereknya.. Dia sudah bagusnya dia sudah langsung kita lihat.. Kita mesti akurin dengan viewfinder.. Geser ini itu agak berabe.. Kalau Debrie itu sudah reflect camera dipanggil.. Reflect jadi yang kita ambil langsung masuk ke film.. Langsung kita lihat apa yang ada di viewfinder.. Nggak ada parallax atau apa-apa.. Itu Debrie sudah bikin pakai reflect, Arriflex semua juga reflect.. Reflect camera..
Menengok Camera Movement, Teknologi Grip, dan Lensa Zoom 1950-1980-an
Julita Pratiwi
Kalau zaman itu Pak, jika ingin melakukan camera movement itu udah pakai apa/ track/ jimmy jib atau belum?
Irwan Tahyar
Oh jimmy jib itu belakangan .. baru keluar kalau nggak salah tahun-tahun 80 lebih..
Agni Ariatama, ICS
Kalau di tahun ‘50 grip apa aja Pak yang ada, Pak? Dolly.. ?
Irwan Tahyar
Dolly disitu ada gambarnya (menunjuk arsip Java Industrial Film), dolly sebelum tahun 1950-an itu ada.. Ada kan gambarnya dolly.. Di depan mungkin..
JP: Jadi dulu waktu film Dr. Samsi Bapak pakai dolly?
Irwan Tahyar
Nah itu, Debrie salahnya waktu mesen kamera itu.. Itu beratnya bukan main. Mesti dua orang paling sedikit angkat naikin ke tripodnya.. Jadi tidak dipesan bersama dengan tripodnya yang khusus untuk itu .. jadi hanya head. Kamera dengan headnya, buat pan segala macem.. Kita bikinin semacam tripod tapi nggak bisa naik turun.. Nah itu dolly juga bikin sendiri.. Jadi dollynya nggak bisa naik turun .. cuman bisa orang dorong.. Mau kemana .. ke sana.. Ke sini.. Belok dikit.. Nggak bisa seperti dolly yang asli dari sana.. Seperti yang ada di gambar..
Agni Ariatama, ICS
Sebagai perpindahan saja Pak, digunakan untuk pengambilan gambar nggak Pak? Dollynya?
Irwan Tahyar
Dolly bergantung permintaan dari sutradara .. jadi kalau kita mau yang ditrack.. Mendekat pakai dolly.. Atawa pakai lensa zoom. Perbedaan dolly sama lensa zoom itu beda.. Artinya jadinya gambar itu beda.. Lantaran kalau dolly kita track mau mendekat ke orang.. Dia punya ininya tidak berubah [perspektif], muka orang tidak berubah.. Tetapi kalau kita zoom .. itu berubah [perspektif].. Kalau dolly itu sama saja orangnya tidak berubah, tetapi kalau zoom dari lensa wide ke tele.. Nah itu berubah. Kalau lensa wide kita pakai.. Orang yang di depan sini orang di belakang kelihatan lebar.. Jadi perspektifnya tuh lain.. Ngerti nggak yang saya explain? Orang suka bikin mukanya jadi gede.. Badannya kecil.. Itu permainan dari lensa zoom.
Julita Pratiwi
Lensa zoom kapan Pak mulai dipakai di Indonesia?
Irwan Tahyar
Saya rasa sejak tahun ‘60-an, ‘60-an lebih. Ini lensa zoom sebenernya udah lama keluar yang punya lensa zoom memang tidak banyak di zaman pendudukan Jepang, yang punya lensa zoom. Mungkin juga belum ada. Setelah belakangan aja.. Ya ‘80-an,.. ‘60an aja masih belum ada.’70an.. Ya antara ‘60an.. Lens zoom banyak baru keluar setelah orang banyak pakai kamera Arriflex. Lantaran itu.. Enteng juga kameranya.. Lensa zoomnya jadi gampang zoom apa..
Teknologi Cinemascope dan Processing Warna
Julita Pratiwi
Kalau cinemascope Bapak ngerasain nggak pakai?
Irwan Tahyar
Cinemascope itu hanya ditaroin lensa lagi di depan lensa biasa ditaroin lagi buat menjadi lebar .. itu aja.. Cuman dipakein tambahan lensa cinemascope di depannya..
Julita Pratiwi
Itu ngeprintnya pakai 70mm pak? Filmnya 35mm atau 70mm?
Irwan Tahyar
Nggak 35mm, kita di sini nggak ada yang pake 70mm. Ya segitu jauh sih selama saya di sini belum punya yaa..saya pakai syuting 70 mm itu cuman di Amerika, Eropa ..
Julita Pratiwi
Kalau kaya di [IMAX] Keong Mas gitu Pak yang buat proyektor IMAX 70mm? (...)
Irwan Tahyar
Saya sih belum pernah dengar yaa.. Di sini yang pakai 70mm.. Kameranya juga belum pernah dengar.. Itu mungkin hanya di Amerika yaa. Technicolor aja itu .. Indonesia tak pernah bikin technicolor. Technicolor dia pakai 3 film. Satu buat warna biru, satu buat warna hijau, satu lagi warna kuning. Technicolor itu tiga film. Makanya dipanggil additive [color] process. Kalau yang kita ambil [film] color biasa itu subtractive [color] process. Jadi diprint nanti disaling tindih.. Warna ini .. tiga warna.. Kalau subtractive [color] process emang udah di filmnya itu sendiri warna.. Dipanggil subtractive process..
Julita Pratiwi
Processing film berwarna susah nggak sih Pak? Apa yang bikin beda sama (proses) hitam putih?
Irwan Tahyar
Prosesnya sih nggak beda.. Cuman di obat-obat misalnya hitam putih cuman tiga proses pertama nyuci.. Abis ke fixer ke air.. Gini gitu udah.. Kalau film berwarna ..nah dia setelah proses pertamanya baru proses colornya.. Baru ini itu.. Cuman beda.. Ada lebih banyak.. Prosesnya sih sama aja nggak ada beda..
Perjalanan Karir Pasca Lulus Sekolah di Italia 1957
Agni Ariatama, ICS
Lulus tahun berapa Pak pas dari Italia?
Irwan Tahyar
Lulusnya tahun 1956. Dari tahun 1954-1956..
Agni Ariatama, ICS
Abis 1956-1960 di PFN berarti Pak? 4 tahun di PFN?
Irwan Tahyar
Saya kan di PFN harus kontrak. Habis kontrak, keluar dari PFN. Itu waktu.. Nggak langsung.. Ada yang minta.. Rasanya masih belum ini.. Nggak langsung kerja di film. Saya bikin lab kecil di rumah buat cuci waktu 8mm lagi sedang populer. 8mm yang color. Super 8mm. 8mm yang Super 8 punya.
Agni Ariatama, ICS
Itu servis atau nerima sendiri Pak orderan?
Irwan Tahyar
Saya banyakan dikasih dari Djakarta Foto sama dari TIM ada .. si ini yang biasa bawa film si Hendri dia sering dateng ngambil bawa film buat diproses.
Agni Ariatama, ICS
Hendri Cinevisi, pak?
Irwan Tahyar
Masih ada dia?
Agni Ariatama, ICS
(Geleng) Cinevisi sudah tidak ada pak.
Irwan Tahyar
Oh udah nggak ada. Hendrinya masih ada?
Agni Ariatama, ICS
Saya tidak tahu pak.
Irwan Tahyar
Iya
Agni Ariatama, ICS
Itu proses ada mesin sendiri atau manual?
Irwan Tahyar
Nggak. Manual. Itu jadi tank habis ada semacam … reelnya.. Masukin reel dari plastik. Sekali cuci bisa 4 roll, 4 roll 8mm tinggal dicuci. Lama juga loh saya kerjain itu dari tahun 1970-an 1971 aktifnya terus sampai 1977 sama 16mm.
Agni Ariatama, ICS
Tapi dari tahun ‘60-’70?
Irwan Tahyar
Abis dari ‘60 saya main kamera still. Jual beli kamera still. Lantaran film itu waktu agak kendor. Tidak terlalu banyak aktivitas di film. Ya paling ada satu dua. Saya pernah bikin Pertamina bikin sama KOMDAK dari polisi kerjasama film Sasaran. Abis itu saya bikin lagi itu waktu sambil saya cuci 8mm saya juga syuting.. Itu tahun ‘74… terus tahun ‘75 saya syuting Om Fred Young sebagai sutradara, film Putri Solo. Sampai pergi ke Solo ambil. Putri Solo sebenarnya pernah dibuat di tahun 1953 sama Fred Young juga. Sukses besar. Banyak orang nonton waktu itu. Makanya waktu tahun 1975 dia ulangin lagi bikin. Waktu tahun ‘50an itu masih hitam putih. Nah tahun 1975 itu udah color Putri Solo juga. Nah waktu tahun 1953 itu Titien Sumarni. Masih ada nggak? Wah Titien Sumarni itu bukan main. Terkenal bener. Orang kalau mau ngambil dia main. Mesti nungguin dari jam 5. Kalau nggak yang lain ambil dia syuting . Dia main bisa 5 produksi sekaligus. Barengan. Pusing deh waktu itu.. (...)
Agni Ariatama, ICS
Nah waktu itu cameraman nya Bapak juga?
Irwan Tahyar
Itu saya juga. Tetapi pemainnya lain. Yang itu Titien Sumarni. Yang ini Meiske yang tahun ‘75.
Agni Ariatama, ICS
Nah itu gimana tuh yang dulu hitam putih terus berwarna? Itu kira-kira ada pertimbangan khusus kah .. cerita yang sama dulu hitam putih sekarang berwarna?
Irwan Tahyar
Secara syuting sih sama aja ya. Cuman lampunya kita mesti hati-hati. Kalau film warna kan harus liat color temperature dari lampunya juga. Kalau hitam putih nggak peduli mau pake lampu apa lampu apa. Saya pakai waktu hitam putih banyak lampu neon. Neon tapi bukan biasanya. Neon kuning. Dia terang. Jadi hitam putih nggak soal. Tapi terang dia. Terutama untuk general lighting. Enak di studio. Pakai itu. Ya ditambahin lagi lampu-lampu spotlight. Buat muka buat apa itu.
Memori Masa Kecil: Belajar Kamera Lubang Jarum sama Om
Julita Pratiwi
Aku mau tau Bapak banyak belajar dari siapa? Ada nggak pelajaran yang Bapak petik dari Bapaknya Bapak The Teng Tjun atau dari om-om?
Irwan Tahyar
Oh iya.. Sebenarnya ya.. Itu nggak diduga.. Satu hari.. Lagi omong-omong gitu sama saya punya Om.. Itu saya punya Om yang kasih tahu kalau mau kamera, kamera foto, prinsipnya gampang diambil ada satu box ini dibolongin depannya, habis ditaroin kertas hitam coblosin, di belakangnya taro kertas foto yang untuk print foto itu taro situ.. Cuci.. habis diambil gitu panas, pake tangan tutup .. itu pertama saya ingat.. Nggak lupa sampai sekarang.. Eh bener bisa. Nah dari situ.. Tukang loak.. Saya beli.. Dulu ada still kamera.. Still kamera.. Semacam box.. Nggak bisa deep focus.. Nggak bisa apa.. Cuman bisa dikeker dari sini.. gitu.. Sininya nih cuman ada shutter.. Shutter cuman dipencet “cetet” dibuka.. Beli gituan.. Main-main foto..jadi tertarik.. Satu hari waktu Bintang Surabaja ke Bali.. pertama kali tuh.. Di tahun 1949..
Masa Akhir Bintang Surabaja
Julita Pratiwi
Bintang Surabaja aktif sampai kapan Pak?
Irwan Tahyar
Bintang Surabaja film.. Hem.. lantaran ini.. Itu kan dulu satu rumah besar.. Belakangnya studio. Cuman saya punya kakek anaknya itu ada 8. Jadi waktu saya punya nenek meninggal, mau nggak mau semua pada minta dijual rumah itu, jadi ya. Sebelum dijual untung ada satu importir film Kodak CV. Karta. Om Jap dia kasih pakai uangnya dulu kita jalanin dulu lagi sampai ‘61. ‘61 terakhir. ‘62 terus yaudah tutup. Kalau dulu waktu masih Java Industrial Film (JIF) wah masih hebat. Saudara masih kompak lah. Saling ini.. Nah itu habis nenek saya meninggal pada mau dijual. Minta bagian dari rumah itu. Jadi mau nggak mau yaudah. Dijual. Tutup. Tahun terakhir itu kira-kira ‘61 -’62 hampir nggak ini deh.. Dijual nah saya dapat rumah di belakang. Saya punya ayah. Sebelahnya saya. Nah saya punya om di sebelah. Rumah itu dijual. Kita dapat rumah di situ juga. ‘88 sebelah rumah itu ada Badak Tjap Dewa tapi dibeli sama Bank Bali. Jadi Bank Bali perlu tempat untuk parkir. Dia tanya mau dijual nggak rumah-rumah kita? Ditembusin jadi buat lapangan parkir. Yaudah jual kita pindah ke Tanjung Duren.
Java Industrial Film pada era Jepang
Julita Pratiwi
Terus film-film Java Industrial Film dan Bintang Surabaja setelah 1962 Bapak yang simpen? Apa Bapaknya Bapak yang simpen? Atau kemana?
Irwan Tahyar
Semua saya punya Ayah, dia mulai Java Industrial Film dari tahun ‘30. Terus sampai zaman Jepang pendudukan Jepang berhenti. Baru mulai lagi tahun-tahun ‘46 -’47 rasanya. Nah itu. Aduh waktu jaman Jepang mau masuk. Kita punya kamera kita punya itu banyak tuh.. Ada di gambar.. Dolly.. Udah ditanem di studio, digali masukin situ. Diuruk apa semua. Eh Jepang bisa tau. Bongkar.. Untung sih dia nggak banyak cingcong. Abis diambil dia. Jepang semua. Alat-alat apa semua.
Julita Pratiwi
Film-film Java Industrial Film dibawa ke Jepang?
Irwan Tahyar
Nggak. Kalau film-film sih film yang udah jadi itu kan kebanyakan nggak ada sama kita. Ada sama yang nyewa. Bioskop-bioskop. Di rumah di gudang sih nggak banyak yang kesimpen. Nggak ada hubungannya.
Agni Ariatama, ICS
Berarti peralatan Java Industrial Film diambil sama Jepang?
Irwan Tahyar
Ya nggak tau lah buat dia bikin film. (...) PFN juga dipegang Jepang (sebelumnya). PFN Pak Loepias namanya. Jepang nggak boleh liat rumah besar dikit langsung lantas suruh kosongin. Dia buat orang nginep buat tentara Jepang. Pagar rumah.. Pagar besi tuh.. Besinya tuh copot diambil.. Wah palingan deh.. Mobil saya punya orang tua baru beli belum lama.. Nah kebetulan waktu itu di parkir di depan rumah.. Di dalam halaman rumah.. Tapi kelihatan.. Minta kuncinya.. Buat nyerbu ke Bandung.
Lokasi Syuting Dr. Samsi (1952)
Julita Pratiwi
Dr. Samsi itu syutingnya di mana Pak?
Irwan Tahyar
Itu waktu masih ada studio. Itu tahun 1952. Nah itu pertama kali saya sebagai DOP [Director of Photography/ Penata Kamera] Dr. Samsi.
Julita Pratiwi
Syuting-syuting di luar?
Irwan Tahyar
Kalau syuting ada hutan-hutan di deket rumah sakit Husada di Mangga Besar di ujung hampir ke jalan.. Dulu di sana masih hutan banyak monyet. Waktu itu bersih, pada kemana tuh monyet-monyet. Mirip mirip kaya hutan kecil.
Transkrip ini disusun dan dikurasikan sesuai topik bahasan. Jikapun ada yang tidak dipublikasi adalah bagian wawancara yang tim Telisik Sejarah merasa di luar dari topik bahasan atau informasi yang tidak terlalu diyakini oleh narasumber. Dengan segala keterbatasan perekaman suara, rekaman suara siniar (audio podcast) akan diunggah di Youtube Channel Indonesian Cinematographers Society. Program ini didukung atas kerja sama dengan Lenscope Film Research, KEMENDIKBUDRISTEK, Dana Indonesiana, dan LPDP.
Catatan:
1 Starweekly No. 605 pada 3 Agustus 1957
2 Keputusan Presiden (Keppres) No. 240/1967 Anjuran keturunan Indonesia-Tiongkok untuk mengganti namanya menjadi keIndonesiaan. Hal ini dipertegas dari penemuan data profil Irwan Tahyar yang ada di Koleksi Perpustakaan Sinematek Indonesia.