“Ayah kami adalah panutan bagi siapapun. Mulanya tampak sulit sekiranya bila menentang keinginan ayah. Ia berbicara langsung padaku, bagaimana ia berharap ada diantara anak-anaknya yang melanjutkan pergerakannya” ujar Nelson - sang kakak tertua.
Dengan perawakan jangkung, rambut bergelombang, dan paras yang keras namun lembut - Nelson selalu menjadi sosok yang sentral di dalam keluarga. Ia yang pertama yang kerap diajak bicara oleh sang ayah. Jika ayah sedang menghadapi problema, ia selalu ditanyakan pendapat akan langkah apa yang mesti diambil. Bahkan pandangan hidupnya akan sesuatu. Hal ini yang turut mengasah pola pikir kritis dan manajerial dalam diri Nelson. Tak ayal jika kedua adik laki-lakinya kerap menjadikannya contoh untuk diikuti.
Kesepakatan dengan sang ayah, membuat Nelson terdampar di negara Paman Sam pada dekade pertama abad ke-20. Ia menempuh kajian religi untuk melanjutkan semangat misionaris sang ayah. Ternyata nasib berkata lain, ia justru terpesona dengan pengadeganan di depan kamera gambar bergerak. “Bagaimana bisa belajar menciptakan imaji tersebut?” ucapnya dalam hati. Saat itu ia berada pada masa peralihan wajah sinema - dari durasi pendek menjadi panjang, dari non naratif menjadi naratif, dari bahasa film yang monoton menjadi semakin kompleks dan kaya. Melalui jaringan pertemanan, untuk pertama kalinya Nelson dapat masuk ke studio proses produksi The Thief of Baghdad (1924) karya Raoul Walsh dan ditulis oleh Douglas Fairbank. Setelah itu, tekadnya semakin bulat untuk berkecimpung di ranah film. Ada sedikit rasa khawatir akan sang ayah yang tidak merestui pembelotan ini. Namun, ia percaya jika ia bersikeras untuk belajar dan teguh, ayahnya akan mengerti.
Nelson memutuskan untuk mengambil studi imaji dan pemrosesan lab di Pathe Cine Lab, Hongkong. Disanalah ia memahami dasar-dasar karakteristik lensa, film seluloid, fitur kamera, karakteristik pencahayaan. Ia belajar dengan tekun bagaimana proses terbentuknya imaji di dalam film (eksposur), teknik pengoperasian kamera hingga teknik development film. Pathe selaku perusahaan film dan teknologi gambar bergerak mulai mengibarkan sayap, tidak hanya di kawasan Eropa, namun juga Asia hingga Amerika. Perusahaan ini sadar akan perkembangan pesat dari teknologi gambar bergerak. Disamping itu, adanya kesadaran untuk membuka kursus untuk para calon profesional di ranah film. Terpana dengan apa yang digeluti oleh kakak pertamanya, Joshua dan Othniel diam-diam juga ikut mengikuti dan memperhatikan. Apa boleh buat sang ayah harus merelakan keteguhan hati para putranya. Mereka mencoba berproduksi di Shanghai, tetapi tidak terlalu lama. Nelson sadar akan para pesaing yang sudah mulai menuai nama di Shanghai, alhasil ia memutuskan untuk merantau ke daerah tropis di wilayah tenggara. Hindia Belanda menjadi destinasinya di 1925. Ia sudah suka mendengar pencahayaan tropis yang jauh lebih menantang ketimbang dataran Tiong Hoa dari beberapa koleganya. Namun, hal tersebut tidak membuatnya mundur. Ia semakin penasaran - terlebih dengan setting Hindia Belanda nan ragam.
Berbekal pengetahuan teknis, satu buah kamera Pathe, dan dua adiknya yang siap membantu - ia memberanikan diri memperkenalkan namanya kepada khalayak. ‘Wong Brother’ telah menjadi brand nama mereka. Wong Brother yang sangat handal dalam perkara teknis. Jaringan perkenalan dengan T.D.Tio pemilik dari Miss Riboet Opera memberikan dukungan penuh kepada Wong - terkhusus ketika Tio hendak membuat perusahaan Miss Ribut Film Sindicate. Tio mendanai pembuatan laboratorium sederhana di tanah Pasundan. Namun, film yang telah dibuat oleh Wong tidak disukai oleh Miss Ribut dikarenakan ia merasa tidak photogenic dan terlalu bulat wajahnya. Apakah mungkin karena Wong banyak menggunakan lensa wide saat mengabadikan shot Miss Ribut? Ya mungkin, kita dapat berasumsi seperti itu. Meskipun, kerjasama ini tampak tidak membuahkan hasil yang baik, ini tidak membuat Wong jera membangun ikatan kerjasama. Sosok berikutnya adalah David Wong.
David Wong merupakan sosok pebisnis yang kerap diasosiasikan dengan General Motors. Meskipun nama akhirnya Wong, namun tak ada relasi keluarga antara dirinya dan Wong Brother. Jalinan kerjasama diantara mereka menghasilkan perusahaan Halimoen Film. Di titik inilah - sebuah mahakarya Lily van Java (1928) lahir. Film yang konon tercatat sebagai film pertama yang dibuat oleh orang Asia di Hindia Belanda - berbeda dengan Loetoeng Kasaroeng yang kerap dikelompokkan sebagai film yang dibuat oleh orang Eropa. Kata Lily diambil dari nama asli mahasiswi perempuan, Lily Oey - yang berperan sebagai tokoh utama. Secara materi, film ini tidak lagi ada. Hanya tersisa catatan arsip dari artikel koran dan potongan adegan filmnya. Mungkin roh Wong akan sangat sedih mendengar kenyataan ini jika mereka tahu. Dalam film ini, Nelson berperan sebagai sutradara sekaligus juru kamera, dengan Joshua dan Othniel - sebagai asisten kamera maupun penanggung jawab laboratorium. Koran Tiong Hoa seperti Sin Po ataupun Keng Po meletakkan perhatian yang cukup besar terhadap pemberitaan film ini.
Lily Van Java bisa dibilang tidak sungguh laku di pasaran, alhasil David Wong memutuskan untuk mundur. Ia merasa produksi film fiksi merupakan pekerjaan penuh resiko dan cukup berat. Ketidakberhasilan ini tidak membuat trio Wong menyerah, Jo Eng Sek - menjadi nama rekan kerja lain yang mendukung mereka. Dengan nama Batavia Motion Picture, mereka membuat Si Tjonat (1927). Namun, lagi-lagi kerjasama ini tidak membuahkan kolaborasi jangka panjang. Jika dihitung, sudah tiga kali - mereka mencoba menjalin relasi kerjasama, namun hanya berhasil membuat karya sekali lalu selesai. Alasan yang sering digunakan karena tidak menguntungkan secara pasar. Atau mungkin pasar masih belum terbentuk dengan baik. Faktor-faktor ini tidak membuat Wong menyerah begitu saja. Ada kekhawatiran ayah mereka akan marah besar, jika mereka tidak berhasil di negeri nun jauh di selatan.
Kegigihan menjadi modal utama mereka.
Bersambung…
Sumber Referensi:
Ringkasan Transkrip Wawancara Othniel dan Joshua Wong di Studio Cenderawasih 1976. Koleksi Sinematek Indonesia.
Jusa Biran, Misbach. Sejarah Film: Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu.
Pong Masak, Tanete. Sinema pada Masa Soekarno. FFTV IKJ.