Metman dalam sebuah produksi film (Sumber: Eyefilm Database)
Semenjak teknologi perekaman gambar bergerak dipertunjukkan kepada publik Barat pada akhir abad ke-19, tidak butuh waktu lama bagi publik di belahan dunia timur dapat turut menikmati. Di Hindia Belanda sendiri perjumpaan pertama publik dengan medium ini terjadi pertama kalinya pada 1900 di Kebonjae, Tanah Abang. ‘Gambar Hidoep’ menjadi istilah yang lebih akrab bagi publik kala itu. Gambar hidoep yang diperlihatkan-pun tak lepas dari peristiwa-peristiwa aktual, penobatan Ratu Wilhemina1, upacara adat suku di Hindia Belanda, hingga landscape alam seperti gunung berapi2. Publik mulai terbiasa dengan kehadiran teknisi asing yang mengoperasikan kamera gambar bergerak untuk merekam hal-hal ini. Mereka memanfaatkan tiang penyangga (tripod) untuk mendirikan kameranya, berdiri dari satu titik ke titik lain, mencari sudut pengambilan yang tepat. Dimana teknisi ini yang nantinya dikenal dengan istilah filmoperateur atau cameraman3.
Terdapat kesan filmoperateur hanyalah seorang teknisi semata yang memiliki keahlian mengoperasikan kamera. Kerjaannya hanya merekam peristiwa dari realita yang sudah ada. Kesan kuat yang timbul saat itu - hanya filmoperateur asing dari Barat saja yang bisa mengendalikan teknologi imperialis ini. Keinginan untuk berekspedisi mengabadikan sudut-sudut Negeri Timoer Djauh yang indah nan eksotis menjadi semacam ajang perlombaan bagi para filmoperateur asing. Kini Hindia Belanda tidak lagi hanya dinikmati dalam bentuk lukisan mooi indie ataupun foto, namun kini dalam bentuk gambar bergerak. Sesuatu yang semakin akurat mendekati realitanya ketimbang medium visual terdahulu. Tercatat 1921 ada Nationale Film Fabriek4, kemudian 1925 ada Nederlandsch Indische Film Maatschappij (NIFM) yang mulai mencanangkan proyek ekspedisi ini5. Meskipun, saat itu ada pula yang menempatkannya untuk kebutuhan pendidikan dan penelitian bidang humaniora ataupun sains. Ada keyakinan dari perusahaan ini akan potensi pasar Belanda yang menanti untuk tergugah dan terliterasi dengan imaji dari negeri timur seberang.
Namun, dari hiruk pikuk keinginan yang besar untuk menjelajahi Hindia Belanda yang indah ada beberapa hal yang tampak luput untuk dicermati. Keluputan ini disampaikan melalui sepucuk surat kepada redaksi majalah film De Rolprent (22/10/1925). Surat ini beranggapan ketika arah perkembangan film di dunia sudah mulai mengeksplorasi naratif, namun produksi film di Hindia Belanda masih saja bergelimang dalam pembuatan film dokumenter aktual. Baginya, pemerintah Belanda tidak cukup jeli dalam melihat peluang lebih akan hal ini. Ia merasa sudah saatnya Hindia Belanda menggali lebih jauh cerita legenda dan riwayat-riwayat timur. Gambar timoer djauh mesti diperkaya dengan penceritaan yang khas dan bersandar dari kebudayaan asli miliknya. Ditambah ia juga merasa negeri ini telah memiliki set penceritaan yang begitu kaya, berikut ini teks terjemahan dari potongan surat tersebut6:
“Semuanya itu dapat diperoleh dengan uang yang relatif sedikit di daerah tropik kita, dengan dekor-dekor alamnya, yang demikian banyak beraneka ragam dan kaya akan fantasi, dengan dongeng-dongeng dan adat istiadatnya, yang semua bernilai untuk digambarkan dan yang amat cocok untuk dapat terkenal di dunia melalui film yang tidak terbatas kemungkinan-kemungkinannya, dan juga untuk memperkaya pasar dunia dengan jenis film-film yang hanya dapat dibuat di negeri kepulauan kita”
Usut punya usut sosok yang menulis surat tersebut adalah Hendrik Willem Metman4 - seorang cameraman asal Belanda yang ketika menulis surat tersebut telah berusia 50 tahun. Bukan seorang sutradara, penulis skenario, produser ataupun kritikus. Ia seorang cameraman. Berangkat dari seorang juru potret, ia diam-diam tertarik dengan gambar bergerak dan memutuskan menjadi cameraman di usianya yang menginjak 38 tahun pada 1913 - melalui film Nederland en Oranje - yang diyakini sebagai film cerita awal dalam sinema Belanda. Selama hampir 20 tahun ia berkarir, ia telah menjalankan ragam produksi dari film fiksi, dokumenter, dan reklame dengan beberapa perusahaan film Belanda. Tercatat ada 22 judul film7 yang ia hasilkan, angka ini pun di luar dari film non fiksi - reklame atau dokumenter yang beberapa luput terarsipkan. Ia sering dianggap spesialis untuk perekaman di luar studio. Keterikatannya dengan Hindia Belanda tidak hanya karena dirinya lahir di Salatiga, namun juga pengalamannya melakukan ekspedisi selama tahun 1921.
Saat itu ia dan H.B. Robbers - rekannya bekerja untuk Nationale Film Fabriek untuk proyek Ekspedisi Film di Hindia Belanda8. Mengutip Het Vaderland (29/04/1921) keduanya menjelajahi dan merekam alam Sumatera dari air terjun Asahan, perkebunan hingga harimau tertangkap. Pencucian film dilakukan di Medan, namun positifnya dibuat di Belanda. Besar kemungkinan istri Metman - Johanna Slinger yang biasa bekerja untuk memproses film di lab juga turut berperan disini.Tercatat ada sembilan film dokumenter dari ekspedisi ini yang berhasil dirilis dan dipertontonkan di Belanda pada September 19214. Perusahaan ini tidak bertahan lama, alhasil Metman dan istrinya memutuskan untuk kembali ke negeri kincir angin. Namun, dari perjalanan itu tampaknya ada sesuatu yang begitu membekas dan membuat dirinya berefleksi. Apa terpuruknya perusahaan dikarenakan publik atau pengusaha bioskop tidak lagi berminat pada film dokumenter, melainkan perhatian mulai beralih pada fiksi? Empat tahun kemudian, hal tersebut ia tuangkan ke dalam surat dalam De Rolprent yang sebenarnya jika diperhatikan surat tersebut diperuntukkan untuk para pemangku kepentingan di bidang film. Sebuah catatan refleksi dari seseorang yang pernah merekam dan menjelajahi negeri tersebut.
Apa yang dapat dipetik dari surat terbuka Metman? Terdapat dua hal yang dapat digarisbawahi. Pertama, pada masa Hindia Belanda didominasi dengan ekspedisi film non fiksi, ia memberikan gagasan akan keberadaan film cerita yang bersandar pada dongeng ataupun riwayat timur. Ia merasa hal ini dapat dipadukan dengan kekuatan ragam set alam negeri ini yang dapat dimanfaatkan untuk penceritaan. Selang setahun dari tulisan Metman, Loetoeng Kasaroeng menjadi film cerita yang pertama diproduksi di tanah ini - yang kemudian disusul dengan film-film cerita lainnya. Kontribusi pemerintah Belanda terhadap produksi film fiksi-pun tercatat pada produksi Terang Boelan di tahun 1937 melalui perusahaan ANIF - yang konon pada masanya dianggap sukses secara komersial.
Kedua, selama hidupnya dalam berkarir di dunia film ia cukup konsisten terhadap profesinya sebagai cameraman. Namun, apa yang membuat sosoknya menjadi berbeda? Ia mendobrak stigma yang menempatkan cameraman hanyalah teknisi semata. Melalui surat kabar, ia tuturkan gagasan dan nalar kritisnya dalam bentuk tulisan. Bagaimana imaji sebagai bahasa film amat lekat dengan fungsi storytelling dan dapat diramu dekor ataupun visualnya berdasarkan akar budaya setempat? Disini dapat terlihat adanya nilai tawar lebih yang ia berikan pada diri dan profesinya. Meskipun hingga ia tutup usia pada 19397, keinginan terpendam untuk membuat film cerita dari tanah kelahirannya belum dapat terwujud.
Sumber Referensi:
1 Kevin, Febryan. “Kapan Bioskop Pertama Hadir Di Indonesia Dan Film Apa Yang Diputar? .” GridKids.Id, Web, 6 Jan. 2022.
2 Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film 1900-1950. Edited by Fadly Kurniawan, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
3 de Preanger Post. “De Filmoperateur Carli.” De Preanger Post , 18 Aug. 1926.
4 Donaldson, Geoff. “Surat Donaldson Pada De Rolprent.” De Rolprent, Amstelveen: , 12 Jan. 1972.
5 Nieuw Weekblad. “Hindia-Belanda Keatas Film.” Nieuw Weekblad v.d Cinematografie, June 1925.
6 Metman, H. W. “Giliran Anda Berbicara.” De Rolprent, Schoten: , 22 Oct. 1925.
7 Eye Film. “H.W. Metman.” Eyefilm, Web.
8 Het Vederland. “Ekspedisi Pembuatan Film.” Het Vederland, 29 Apr. 1921.