Jika meninjau kembali kondisi sebelum 1950, tidak ada yang tahu pasti nasib sinema Indonesia di kemudian hari. Dekade 1940 dapat dikatakan dekade peralihan yang menentukan begitu banyak hal - bukan hanya masa depan negara namun juga sinema di negara ini. Kesadaran besar akan produksi film berita sebagai dokumen historis yang penting terasa pada saat Berita Film Indonesia dibentuk. Kehadiran kantor berita ini berupaya untuk merangkum suasana pasca kemerdekaan, perjanjian bilateral dan gerilya revolusi dalam bentuk footages. Ini juga terkoneksi dengan terbentuknya Perusahaan Film Negara (PFN) di kemudian hari - sebuah perusahaan yang cukup menentukan wajah sinema Indonesia beberapa dekade ke depan. Paralel, produksi film fiksi tetap ada, namun tidak dengan produksi yang masif. Ada kesan perusahaan film yang ada bergerak dengan penuh kehati-hatian - sebut saja South Pacific Film Corporation (SPFC) ataupun Oriental Film Coy. SPFC sendiri kerap dianggap alat propaganda Belanda untuk dapat mengambil alih kembali pada saat revolusi.
Namun, hal yang perlu digaris bawahi pada masa-masa peralihan ini adalah mulai adanya transisi pengetahuan keahlian teknis yang pesat, terkhusus dari juru kamera asing ataupun peranakan ke pribumi - dengan sistem ‘ikut langsung’. Sebut saja Elmert Kruidhoff pada Lie Gie San, A.A. Denninghoff Stelling pada Max Tera, Tan Sing Hwat pada Ek Sin. Sebagai contoh, Max Tera yang telah menggeluti dunia fotografi dan merantau dari Madiun ke Jakarta memutuskan untuk melamar kerja di SPFC. Beliau mulai menjadi asisten kamera dari AA. Denninghoff - diantaranya Gadis Desa, Djauh di Mata, Harta Karun dan Tjitra. Pasca 1949, adanya ‘pengusiran halus’ pada warga negara asing di Indonesia - maka ini menjadi titik penting lahirnya para juru kamera muda pribumi yang mulai mewarnai wajah sinema kita. Pada waktu yang bersamaan, Usmar Ismail berkeinginan untuk membuat film di bawah perusahaan film sendiri - maka dibentuklah perusahaan film PERFINI. Dimana, Max turut menjadi sosok penting dalam pembentukan ini dan awal dari kolaborasi panjang Usmar Ismail- Max Tera.
Dibalik layar film Toha, Pahlawan Bandung Selatan, Max Tera (Depan Kiri, Tidak Memegang Kamera) dan Usmar (Depan Kanan). (Sumber: Majalah Purnama)
Dalam salah satu surat kabar disebutkan bahwa Max juga mendapatkan tawaran posisi serupa dengan gaji yang tinggi dari perusahaan film lain, namun ia memutuskan untuk menolaknya dan menjadi bagian dari PERFINI karena semangat revolusi dan idealismenya. Darah dan Doa (1950) merupakan film dimana Max bertanggung jawab sebagai Juru Kamera untuk kali pertama. Diketahui bahwasanya ini bukanlah keputusan yang mudah untuk Usmar pada saat itu. Yakni selain PERFINI, perusahaan lain yang ingin turut andil dalam produksi ini adalah PERSARI dan PFN. Dapat diasumsikan desas-desus narasi long march bermuatan nasionalis dan kisah perjuangan nan epik yang membuat mereka tertarik untuk menjadi bagian dari produksi ini. PFN - studio yang dianggap cukup mumpuni kala itu, menawarkan penggunaan peralatan kamera, lensa, lighting, dan pendukung lainnya - tak tanggung mereka hendak memberikan juru kamera handalan mereka. Namun, ikatan dan keyakinan Usmar pada Max membuatnya memutuskan untuk menolak tawaran yang diberikan oleh PFN. Max yang berbekal pengalaman asisten kamera untuk Denninghoff dan semangat revolusi, keinginan kolaborasi membuat film bersama yang diperhitungkan oleh Usmar.
Sedikit sutradara zaman itu yang menuangkan proses kreatif di balik layar pembuatan film seperti Usmar Ismail. Terdapat sejumlah artikel, dimana ia mendokumentasikan relasi kreatif antara dirinya dan Max. Tepatnya di koran Pedoman 25 April 1953, Ismail membagikan cerita proses di balik layar - bagaimana ia dan Max hendak merumuskan rasio penggunaan bahan baku untuk menghemat anggaran produksi - namun untuk beberapa kasus ternyata rencana ini tidak mujur, bahkan pada titik tertentu hal ini menjadi penuh risiko kecelakaan kerja pada kru. Bagaimana Max hampir tewas terkena peluru pada salah satu adegan film “Saya juga masih teringat shooting the Long March (atau Darah dan Doa) di Subang, waktu sebuah senapan yang sedang memuntahkan peluru terbalik karena si penjurit terlalu bajik dalam rolnya dan hampir menewaskan saudara Max Tera, yang mengambil penembakan itu dari depan” ungkap Usmar Ismail (Pedoman, 25 April 1953).
Menurut keterangan Usmar Ismail dalam bukunya Mengupas Film, ia mengakui bahwa ia tetap berhasil membuat PFN meminjamkan kamera Akeley-Cine Camera padanya. Meski di sisi lain, ada juga informasi yang menjelaskan bahwa syuting Darah dan Doa menggunakan kamera Eclair Cameflex yang diimpor dari Perancis. Sementara untuk film Lewat Djam Malam (1954) yang konon diyakini sebagai film terbaik oleh JB. Kristanto, diketahui menggunakan Eclair Cameflex.
Group Shots dalam Darah dan Doa: Gagasan Manusia dan Revolusi (Sumber Kemendikbud)
Dalam proses pembacaan - tidak sedikit yang meyakini bahwa terdapat pertumbuhan pesat dari craft Max Tera dalam Darah dan Doa ke Lewat Djam Malam. Bukan hanya dari segi teknis, namun juga dari segi kemampuan merancang desain visual berdasarkan hasil analisis skenario. Terdapat pepatah menarik yang diungkapkan Nur Hidayat, ICS - seorang sinematografer, “Lewat Djam Malam itu lebih menitikberatkan manusia setelah revolusi, hubungan manusia dengan manusia. Sementara yang pertama itu [Darah dan Doa] merupakan manusia dengan revolusi.” Vera Lestafa, ICS seorang sinematografer perempuan di ICS membaca kecenderungan merespon relasi manusia yang ada dengan keputusan tipe shot dan komposisi. Dalam Darah dan Doa terlihat bahwa yang jauh ingin diutamakan adalah perjuangan, kesatuan kolektif, menyerang dan bertahan bersama - Sudarto dan kawan-kawan seperjuangan, ini mengapa tipe shot long shot atau fullshot menjadi bunyi dalam merespon ide besar ini. Namun, berbeda dengan Lewat Djam Malam dimana sudah mulai ada atensi masuk ke ruang personal - kegelisahan personal tentang identitas-identitas dari karakter. Iskandar yang kerap memikirkan karirnya di masa depan dan penyesalan akan masa lalu, Norma yang bimbang akan masa depannya bersama dengan Iskandar. Sehingga tipe shot close up ataupun two shot menjadi begitu intim masuk ke relung batin karakter-karakter ini.
Sementara dari segi blocking pemain dan kamera. Menurut observasi Hidayat, jika diperhatikan dalam Darah dan Doa lebih dominan pergerakan pemain itu dari kiri atau kanan. Hal ini dapat diasumsikan tradisi Usmar yang telah terbentuk dari tradisi teater. Dimana panggungnya itu cuma dari sayap kiri dan sayap kanan. Sementara Lewat djam malam, bukan sekedar asis X dan Y, tapi dia sudah masuk adegan ke Z. Blocking-blockingnya dari kedalaman mendekat ataupun menjauh. Kalau Darah dan Doa, yang masuk ke daerah sumbu Z, itu hanya track camera atau track back camera.”
Tipe shot yang jauh lebih intim dalam Lewat Djam Malam (Sumber: Kemendikbud)
Hal yang membuat variasi tipe shot ini kaya dan begitu menyatu dengan cerita adalah keputusan Usmar dalam memanfaatkan parallel cutting. Hal ini disinggung oleh Soleh Ruslani, ICS - sinematografer senior yang memberi pandangan tersendiri akan kerja kreatif Usmar pada saat pascaproduksi: “H. Usmar Ismail menggunakan teknik parallel cutting; ini kita bisa lihat dalam adegan sebuah keluarga cemas terutama Norma menunggu kekasihnya belum pulang padahal hampir jam malam sementara Iskandar - tunangan Norma sedang dikejar kejar petugas karena sudah lewat jam malam. Adegan-adegan ini meningkatkan tensi ketegangan serta punya nilai dramatik tinggi.” Disamping itu, adanya kesadaran untuk eksplorasi subjective point of view - dari sudut pandang Iskandar, seperti pada shot ia mengejar ayam, memperhatikan kolase Leila, hingga memandang ke arah gunung. Ini tentu menguatkan dialek intimasi antar subjek dan dalam dirinya. Entah mengapa adegan ia mengejar dan menangkap ayam, ini juga seperti menganalogikan diri Iskandar yang nantinya akan dikejar dan ditangkap - seperti ayam.
Keputusan handheld juga menambah nilai pada cara pandang manusia yang alamiah - ini dapat dilihat pada eksekusi subjective point of view tersebut. Imaji juga jadi jauh lebih dinamis - ini dapat dilihat pada shot langkah sepatu dan cahaya senter pada adegan pembuka. Ini dapat dianalogikan akan cahaya sebagai pemantau/ yang dominan - kerap mengejar dan mencari yang bersalah. Sepatu yang berjalan di kegelapan seperti upaya untuk terus bisa menapaki hidup di tengah kerisauan akibat perbuatan masa lalu. Dapat diduga adanya kesadaran desain dari Usmar, Max hingga Abdul Chalid - penata artistik untuk bermain dengan bahasa visual lebih jauh. Sementara eksplorasi bahasa semacam ini belum terlihat dengan kentara pada film Darah dan Doa. Disamping itu, penggunaan super imposition sebagai perantara untuk masuk ke ingatan subjek menjadi hal yang cukup menarik untuk diperhatikan. Pada saat masuk ke ingatan kelam dari tragedi pembantaian - lensa seperti menggunakan diafragma/ bukaan yang lebar sehingga menghasilkan fokus yang tipis (shallow focus). Ada efek berbayang (fuzzy dan blurry) pada background. Ini seperti memperlihatkan ingatan yang pudar dan Iskandar sebagai subjek ingin melupakannya.
Efek super imposition pada Lewat Djam Malam (Sumber: Kemendikbud)
Terkait dengan pencahayaan, Hidayat cukup mengapresiasi pengaturan kontras yang semakin tajam pada Lewat Djam Malam. Jika di Darah dan Doa, highlight dan shadow dalam adegan eksterior tampak dibiarkan - belum ada atensi yang besar. , maka dalam Lewat Djam Malam amat terasa dijaga sungguh-sungguh dengan menggunakan reflektor yang ada. Ini juga mempengaruhi persepsi penonton akan kekuatan imaji dalam mendukung gagasan dramatik. Dapat diasumsikan bahwa ISO bahan baku yang digunakan untuk Darah dan Doa hanyalah satu. Pandangan ini disetujui oleh Ruslani - terlihat jelas dengan sangat sadar, Max Tera dalam Darah dan Doa belum berani bermain dengan mood lighting dan lain hal di luar menjaga amannya eksposur. Sehingga jarang sekali kita melihat kontras yang merepresentasikan mood di adegan-adegan tertentu.
Kontras terang dan gelap dalam Lewat Djam Malam (Sumber: Kemendikbud)
Sumber:
Max Terra - Kini, Tiada Nama Besar Pada Dirinya?
Ismail, Usmar. Dengan Lahirnja KAFEDO, Manikam pergi shooting ke pulau Legundi:
Nachoda Salim djadi kepala suku. Pedoman 4 April 1953.
Lewat Djam Malam Diselamatkan.
Max Tera. Profil Sinematek Indonesia.
Oral History Hidayat, Lestafa, dan Ruslani.