Tiga tahun pasca kemerdekaan Indonesia, film cerita kembali diproduksi oleh Java Industrial Film (JIF) dan Perusahaan Film Negara (PFN). Kedua perusahaan tersebut memiliki Studio dan perlengkapan studio, serta laboratorium sendiri untuk memproses film. Hingga pada awal tahun 1950-an, perusahaan-perusahaan film di Indonesia mulai menggeliat. Perusahaan-perusahaan film tidak hanya berkembang di Jakarta, tetapi juga berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Ada sekitar lebih dari 20 perusahaan film di Indonesia.
Foto BTS Film Gadis Desa 1949 Produksi PFN
Sumber: jurnalfootage.net
Didasari oleh semangat revolusi, film-film yang dibuat perusahaan-perusahaan film didominasi dengan tema perjuangan. Keterbatasan modal, peralatan, dan sumber daya manusia tidak menghalangi keinginan mereka untuk menceritakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia ke layar putih. Walaupun sebagian besar perusahaan film tidak memiliki studio, perlengkapan produksi film, dan laboratorium film sendiri, tidak menjadi halangan. Strategi yang mereka lakukan adalah menyewa studio dan menyerahkan proses laboratorium kepada perusahaan film lain yang sudah memiliki studio dan laboratorium.
Proses shooting Film Bunga Rumah Makan 1951 di Studio PFN
Sumber: ANRI
Pada Tahun 1951 hanya ada sepuluh studio film di Indonesia, menjelang pertengahan dekade 1950-an studio film terus bertambah seiring bertambahnya perusahaan film nasional. Beberapa studio pada era tersebut adalah Studio PFN, Studio Persari, Studio Olympiad, Studio Golden Arrow, Studio Bintang Surabaja, Studio Sanggabuana, dan lainnya. Jumlah Perusahaan film yang jumlahnya lebih besar dibanding ketersediaan studio, membuat perusahaan-perusahaan tersebut bergantung pada Studio Film yang sebagian besar lokasinya ada di Jakarta. Dikarenakan akses untuk mendapatkan perlengkapan studio tidaklah mudah, selain karena harganya yang mahal, juga karena persyaratan impor yang cukup rumit.
Studio-studio film tersebut sudah dilengkapi berbagai penunjang produksi film, seperti kamera, lampu-lampu, crane, alat perekam suara, kru-kru studio, dan berbagai perlengkapan perekaman film. Masing-masing studio setidaknya memiliki dua buah kamera untuk mendukung perekaman di dalam studio dan di luar studio. Seperti Perfini memiliki Kamera Mitchell untuk pengambilan gambar di dalam studio dan Kamera Éclair Cameflex dengan ukuran yang jauh lebih ringan digunakan untuk pengambilan gambar di luar ruangan. PFN yang memiliki Kamera Bell & Howell untuk kamera di luar studio dan Kamera Mitchell BNC untuk kamera studio. Selain kamera, pada umumnya studio juga dilengkapi fasilitas lighting (pencahayaan) berupa lampu-lampu besar berkapasitas hingga 700 watt. Bagi para juru lampu juga disediakan seragam khusus saat bekerja.
Proses shooting Film Antara Bumi dan Langit
Sumber: Majalah Aneka 1950
Keterbatasan dana dan akses di masa itu membuat pengusaha film harus memutar otak untuk membuat peralatan penunjang untuk produksi film. Salah satu caranya adalah dengan membuat sendiri peralatan-peralatan untuk produksi film. Golden Arrow termasuk studio yang cukup kreatif dalam membuat sendiri perlengkapan studio yang dibutuhkan. Golden Arrow membuat sound blimp, sound blimp adalah wadah yang dipasang pada kamera yang berfungsi untuk meredam suara. Selain Blimp, Golden Arrow membuat Rail tanam beserta troli untuk menunjang pergerakan kamera. Studio Olympiad menjadi studio pertama di Indonesia yang memiliki crane-camera. Crane-camera dibuat sendiri oleh Direktur Olympiad Film Coy, Liauw Kwan Hien. Crane besi tersebut dapat mencapai tinggi maksimal 3 meter dan mampu menggerakan kamera keatas dan kebawah.
Proses Mencuci Film dengan Mesin di Laboratorium PFN Tahun 1950
Sumber : ANRI
Selain studio, beberapa perusahaan film memiliki laboratorium sendiri untuk memproses filmnya. Jika di awal abad 19, juru kamera di Hindia Belanda mencuci sendiri film-filmnya di dalam kamar gelap sederhana di daerah dataran tinggi. Di era setelah kemerdekaan tidaklah jauh berbeda. Perusahaan-perusahaan film yang memiliki modal terbatas mencuci filmnya secara manual atau menggunakan tangan. Metode pencucian dengan cara manual atau mesin amatlah mempengaruhi kualitas kontras dan kecerahan pada film yang dihasilkan. Adapun tantangan dari cara manual yakni tidak stabilnya kualitas yang dihasilkan ketimbang dengan menggunakan mesin. Hanya beberapa perusahaan yang memiliki sebuah mesin pencuci film, seperti Olympiad Film Coy, PFN, dan Persari. Untuk itu di tahun 1955, PFN membangun sebuah Central Film Laboratory PFN di Polonia. Laboratorium ini digadang-gadang sebagai laboratorium terbesar di Asia Tenggara. Tujuan dibentuknya laboratorium ini sejalan dengan upaya untuk memenuhi target jumlah produksi film nasional setiap tahunnya. Central Film Laboratory PFN terdiri dari Studio Rekaman Suara dan Pusat Laboratorium Film.
Sayangnya upaya untuk meningkatkan produksi film nasional dengan membangun laboratorium dan melengkapi studio dengan berbagai peralatan canggih tidak sejalan dengan kondisi kekuatan modal perusahaan film nasional. Harga bahan baku film dan bahan-bahan chemical untuk mencuci film yang terus meningkat membuat biaya produksi film cukup meningkat cukup tajam. Tahun 1957 sebagian besar perusahaan film besar (seperti Pefini, Persari) memutuskan untuk menutup usahanya sementara. Walaupun akhirnya kembali beroperasi setelah dilakukan sejumlah kesepakatan dengan pemerintah.
Adegan Film Rajuan Alam (1956)
Sumber: archive.org
Masalah bahan baku serta kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada perusahaan film membuat perkembangan industri film di Indonesia terhambat. Tren film berwarna dan cinemascope cukup lambat masuk ke Indonesia dikarenakan sulitnya akses peralatan dan perlengkapan produksi film dan harganya yang cukup mahal. Pada tahun 1950-an, hanya produksi Tan & Wong Bros yang diketahui memproduksi film berwarna tanpa melakukan produksi bersama dengan perusahaan film asing. Sisanya perusahaan film nasional membutuhkan kerja sama dengan perusahaan film dari negara lain untuk memproduksi film berwarna maupun cinemascope. Film berwarna yang berhasil dibuat adalah Rodrigo de Villa dan Leilani (Tabu) produksi bersama LVN Manila dan Persari dan Rajuan Alam produksi bersama antara PFN dengan U.S. Information Service (USIS). Begitupun pembuatan Cinemascope di Indonesia, rencananya akan diproduksi bersama oleh Perfini dan Kris Film Singapura. Walaupun akhirnya proyek tersebut tidak pernah terlaksanakan karena kesulitan mengimpor kamera cinemascope dari Singapura. Indonesia berhasil membuat film cinemascope pertamanya pada tahun 1963, setelah Farida Arianny Film dengan Kamera Ariflex memproduksi film dokumenter berwarna berjudul Irama Nusantara.