Sekilas Pandang III: Perkembangan Sinematografi era 1940-1950-an
Dua dekade perjalanan sinema di tanah air 1940-1950-an mengalami beberapa dentuman. Perusahaan yang bergerak di ranah produksi ataupun eksibisi film mengalami seling kenaikan dan kejatuhan. Jika dekade 1940-an kejatuhan terjadi karena peralihan kekuasaan pada masa pendudukan Jepang dan era revolusi mempertahankan kemerdekaan, maka 1950 akhir ditandai dengan adanya krisis - naiknya harga bahan baku film di pasaran. Hal yang perlu digaris bawahi pada 1950 adalah untuk kali pertama penggunaan kata ‘Sinema Indonesia’ terasa lebih ajek digunakan bersamaan dengan upaya menegaskan status negara yang telah merdeka. Misbach Jusa Biran dalam Sejarah Film: Bikin Film di Jawa mengungkapkan bahwa periode ini kerap diasosiasikan dengan istilah ‘sinema nasional’ – saat pribumi mulai mengambil alih beberapa lini produksi-distribusi secara institusional. Adapun yang perlu menjadi catatan, kita tak dapat melihat ini sebagai kecenderungan tunggal. Hal ini dikarenakan adanya interseksi antara pribumi/ peranakan Tiong Hoa/ orang kulit putih, nasional/ trans-nasional, perusahaan nasional/ privat. Semuanya saling berkelindan mengisi wajah sinema dekade ini.
Mengapa interseksi disini menjadi penting? Kita tidak dapat mengelak bahwa pada dasarnya kamera gambar bergerak merupakan teknologi yang cukup imperial - aparatus ini dibawa oleh film operateur dari belahan dunia Eropa - bersama dengan pengetahuan dalam pengoperasiannya. Jika menelisik dari periode sebelumnya, bilamana era awal 1910-an film operateur didominasi oleh orang kulit putih, kemudian 1930-an keturunan Tionghoa, maka setelah dekade 1940-an ke atas orang-orang pribumi juga turut memiliki peran di balik layar pengoperasian kamera. Hal yang menarik adalah distribusi pengetahuan dan kesempatan karir perlahan mulai meretas distingsi kelas dan ras. Jika menilik nama-nama profesional yang berkarir di Departemen Kamera 1940-1950-an jauh mulai beragam secara ras. Interseksi ini menjadi penting karena turut mewarnai perkembangan sinematografi. Sedari dini, keragaman dan pembauran sudah jauh lebih bunyi di departemen ini.
Secara disadari ataupun tidak, mereka juga turut mengenalkan kecenderungan pendekatan teknik perekaman (act of recording) tertentu. Film operateur Eropa dengan tendensi ekspedisinya - menempatkan kamera hanya sebagai alat rekam - kejadian sehari-hari, ritual, pertunjukan dalam festival, lanskap alam. Informasi akan keseharian. Dalam sejarah film yang konvensional, ini dikenal juga dengan tradisi realisme. Kecenderungan yang ditemukan pada diri JC. Lamster, Willy Mulens, Ph Carli, Lola Krutzberg. Sementara - ada titik saat kamera mulai ditempatkan bukan sekedar alat rekam, namun alat untuk bercerita atau bertutur. Dimana secara gagasan telah diungkapkan oleh Metman - kekuatan lanskap geografis yang kuat yang mampu menghasilkan beragam fiksi. Namun, pada praktiknya ini dikembangkan pesat oleh sosok-sosok seperti G. Krugers, Wong Brothers, Tan Brothers. Dua kecenderungan ini yang ke depannya berkembang pesat dalam periode 1940-an dan setelahnya.
Tercatat pada 1940-an, tidak sedikit perusahaan film yang gulung tikar di masa pendudukan Jepang. Menurut keterangan Djawa Baroe, Jepang memutuskan untuk mengimpor film dari negaranya dan menugaskan Nippon Eiga Sha memproduksi film propaganda dan berita. Genre film berita - yang menerapkan kecenderungan kamera sebagai alat rekam cukup dominan. RM Soetarto - salah satu orang Indonesia awal yang mendapat kesempatan sekolah film dan fotografi (photo technik) di Lucerne University, Swiss menjadi Kepala Produksi Film Berita di perusahaan tersebut dan merangkap sebagai Chief Cameraman. Tak lama setelah kemerdekaan, ia dibantu rekannya Rd. Ariffien mengubah perusahaan menjadi Berita Film Indonesia (BFI) - dimana pada masa agresi kantor berita ini mencoba untuk bertahan sebisa mungkin.
Masih di dekade yang sama, selain dua perusahaan di atas ada pula South Pacific Film Company dan Tan Wong Bros Company yang mencoba untuk tetap bisa aktif. Di South Pacific, terdapat juru kamera asal Belanda bernama AA. Denninghoff yang membuat film bersama Andjar Asmara dan Usmar Ismail. Secara tidak langsung, melalui dirinya lahirlah sosok Max Tera - yang nantinya menjadi sosok yang cukup sentral dalam perkembangan sinematografi 1950-an. Ia menjadi asisten / pembantu djuru kamera dan ikut Denninghoff di beberapa produksi seperti Djauh di Mata, Gadis Desa, Tjitra. Denninghoff pribadi merupakan sosok yang keras, disiplin, dan dominan dalam produksi, hal ini pula yang membuat Usmar Ismail tidak tahan bekerja sama satu produksi dengannya. Namun, inipula yang bisa diasumsikan memberikan pengaruh besar terhadap disiplin dan sensitifitas Max Tera terhadap imaji untuk karirnya ke depan.
Berangkat dari latar belakang itu, Usmar memutuskan untuk membentuk perusahaan film sendiri - PERFINI dan ia mengajak Max untuk menjadi bagian dalam pembentukan ini. Darah dan Doa (1950) yang hari pertama syutingnya diperingati sebagai hari film, merupakan kolaborasi pertama Usmar sebagai sutradara dan Max sebagai Juru Kamera. Kolaborasi dan eksplorasi ini kerap berlanjut dari Enam Djam di Djogja (1951), Tiga Dara (1953), ke Lewat Djam Malam (1954) merupakan beberapa diantaranya. Bersama dengan penata artistik - Basuki Resobowo atau Chalid Arifin. Disamping Usmar Ismail, Max Tera juga menjadi penanggung jawab imaji untuk film-film Djajakusuma - seperti Embun (1952), Terimalah Laguku (1952), Harimau Tjampa (1953), Putri dari Medan (1954). JIka memperhatikan kredit film, Kasdullah dan Kosnen kerap menjadi operator dan asisten Max Tera di lapangan. Sistem magang dan ‘ngikut’ mulai ditemukan jejak yang ajek disini.
Saat itu titel untuk pemegang jabatan tertinggi adalah Pimpinan Kamera atau Pemimpin Fotografie.Tampaknya Max Tera terhitung sedikit dari pimpinan yang memiliki operator - Kasdullah yang kerap sebagai operator atau disebut juga djuru kamera/ djuru potret. Namun, pada umumnya masih lazim untuk mengoperasikan kamera sendiri. Djuru Kamera/ Kamera menjadi titel lain yang digunakan secara berpola untuk pemegang jabatan tertinggi di kala itu. Sebagai contoh Kasdullah - ketika ia tidak menemani Max ia memegang titel Juru Kamera dalam Tjambuk Api (1958) dan Kamera dalam Tiga Buronan (1957). Ia juga yang mengoperasikan kameranya. Kosnen menjadi pembantu djuru kamera / asisten kamera yang bekerja bersama Max Tera dan Kasdullah. Selain itu, R. Husein/ Husin juga kerap ikut bersama Kasdullah dan Kosnen - saat itu posisinya sebagai fokus.
Memang ditemukan kesan belum ada penamaan titel jobdesc dalam Departemen Kamera yang ajek. Titel penanggung jawab tertinggi bisa disebut dengan istilah Pimpinan Kamera atau Pemimpin Fotografie atau Djuru Kamera. Hal ini tumpang tindih dengan penamaan operator yang disebut juga sebagai Djuru Kamera/ Djuru Potret1. Titel ‘Asisten’-pun disebut sebagai Pembantu Djuru Kamera. Di saat yang bersamaan ada pula istilah ‘focus’. Berdasarkan penamaan ini, diduga bahwa distingsi antara Asisten Kamera 1 Focus Puller dan Asisten Kamera II Loader tampak belum ketat pada saat ini. Selain itu, dapat dicurigai penggunaan istilah pembantu seperti cara mem-bahasa Indonesiakan titel profesi dalam ranah film. Mengingat saat itu semangat nasionalisme yang terbentuk pesat dalam tubuh PERFINI.
Sementara itu di luar PERFINI, seperti Tan & Wong Bros bersandar pada kemahiran Joshua dan Othniel Wong dengan sutradara yang ragam. Lalu, Golden Arrow dengan Lie Ik Sin atau dikenal juga dengan Eksin sebagai pimpinan kamera - kerap bekerja sama dengan sutradara seperti Tan Sing Hwat. Kemudian Garuda Film, dengan Chu Shu To yang kerap menjadi pimpinan kamera untuk Bachtiar Siagian ataupun Basuki Effendi. Juru Kamera keturunan Tiong Hoa dan pribumi cukup mendominasi pasca 1950-an, setelah agresi tak lagi adanya juru kamera berkebangsaan Belanda yang menjadi bagian dari kru produksi film tanah air.
Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya - apakah kata sinematografi sudah hadir dan di-bahasa Indonesiakan? Hal ini karena kata kamera atau fotografie/ potret masih mendominasi. ´Cinemotographie´ mulai ditemukan jejak penggunaan katanya pada artikel di surat kabar Keng Po pada 1939 - pemberitaan mengenai perpidahan laboratorium Kodak Ltd. Namun, untuk pertama kali menjadi headline judul yakni pada Star Weekly pada 3 Oktober 1957 - Ahli Cinematografie Jang Pertama di Indonesia - yang menjelaskan kepulangan The Sing Hwat, putra The Teng Tjun saat menempuh pendidikan sinematografi di Centro Sperimentale Cinematografia di Italia. Disini dijelaskan bahwa batas studi sinematografi dikhususkan pada aspek-aspek kinerja kamera (camera-work) - kamera, pengaturan pencahayaan, hingga pencucian film. Istilah ini dimaksudkan untuk menjelaskan ranah atau rumpun, belum pada profesi – seperti sinematografer yang kita kenal sekarang. Kata sinematografi diperkenalkan meski masih dalam bentuk ejaan yang belum sempurna - seperti cinemotographie atau cinematografie Kepulangan The Sing Hwat diharapkan dapat mendistribusikan pengetahuan gambar bergerak yang ia dapat - ia sosok ke dua setelah RM. Soetarto yang mendapat kesempatan mengemban ilmu di luar. Namun, sayang tidak terlalu banyak catatan keterlibatan dirinya dalam produksi film setelah itu.
Meskipun demikian, ada upaya untuk membentuk lembaga non-formal pendidikan kamera yang diinisiasi oleh Perusahaan Film Negara. Hal ini bukan hanya karena mulai tumbuhnya geliat produksi film fiksi panjang, tetapi juga kebutuhan produksi film berita seperti Gelora Indonesia. Tercatat Kursus Cameraman P.F.N dibuka pada 1952 dengan peserta 22 orang. Lalu, tepat setahun setelah kepulangan The Sing Hwat dengan istilah ‘cinematografie’ - pelatihan menjadi Kursus Cinematografie yang diorganisir oleh Dinas Film Cerita PFN pada 1958. Antusiasme dan peserta kian meningkat dari 40 hingga 172 peserta2. Pelatihan terbagi ke dalam tingkatan I dan II untuk umum, lalu III untuk tingkatan khusus. Max Tera-pun juga turut menjadi tutor dan pelatih dalam sejumlah rangkaian kursus yang ada. Hal ini tentu turut mengubah penyebaran pengetahuan sinematografi yang membuat era ini menjadi disting dari era Hindia Belanda. Selain itu, adanya kehendak untuk mempopulerkan pemahaman apa itu sinematografi melalui surat kabar yang ada.
1 Berdasarkan penelusuran, titel ‘Djuru Potret’ disandang Kasdullah dalam Embun (1951) dan ‘Djuru Kamera’ disandang Kasdullah dalam Lewat Djam Malam (1954). 2 Mimbar Umum 4 Desember 1958.
Sumber
Keng Po 1939 - `Kodak Ltd Pinda Roemah`
Star Weekly pada 3 Oktober 1957
Mimbar Umum 4 Desember 1958 ´Ahli Cinematografia Jang Pertama di Indonesia`