‘Sepakat di 14’: Sebuah Upaya  Pembenahan Kondisi

‘Sepakat di 14’: Sebuah Upaya Pembenahan Kondisi

By Komite II

20 May 2022

Kertas Posisi Sepakat di 14 merupakan hasil laporan penelitian pertama yang dirilis Indonesian Cinematographers Society (ICS) bekerja sama dengan SINDIKASI - diharapkan ini membentuk diskusi dan perhatian bersama kepada kalangan profesional, pengajar aktifis, dan birokrat - dalam ekosistem film untuk membentuk diskusi berkelanjutan.

Sejak 2019, Indonesian Cinematographers Society (ICS) bek3erja sama dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) berkomitmen untuk menjalankan riset mengenai kondisi kerja dan isu jam kerja yang selama ini berlangsung dalam Industri Film dan Periklanan. Hal ini dilatari dengan problema jam kerja yang telah menjadi masalah klasik dalam ranah produksi film – sudah terlalu larut tanpa ada solusi yang ajek. Kami sadar wacana yang ada tentu perlu didukung riset yang terstruktur. Riset ini mencoba memetakan studi komparasi kondisi kerja di industri film yang ada di luar Indonesia, lalu mensurvey pengalaman dan pandangan pekerja film di Indonesia mengenai kondisi dan isu jam kerja, kemudian membentuk Focus Group Discussion untuk memperoleh data kualitatif.

 

Selama 2019 hingga 2021, kami membuat rangkaian Focus Group Discussion terhadap 22 narasumber yang berprofesi sebagai sutradara, asisten sutradara, art director, production designer, dan produser. Lalu, survei terhadap 401 responden yang berasal dari pekerja film.. Kerja berkepanjangan (overwork) dinilai akan berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan pekerja film.UU 33 Tahun 2009 tentang Perfilman juga dianggap masih belum menjamin perlindungan pekerja film.


Kertas Posisi Sepakat 14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film yang dirilis pada 29 Maret – sehari sebelum hari film nasional ini merupakan hasil dari rangkaian proses riset yang selama ini telah dijalankan. Kami merangkum dari hasil press conference (melansir dari CNN), pemetaan permasalahan yang dihadapi oleh pekerja di Industri Film diantaranya:

 

1. Merasakan kerja berkepanjangan (overwork). Sekitar 54,11 persen responden mengaku bekerja 16-20 jam/hari. Adapun 7,23% responden lain mengaku bekerja di atas 20 jam per hari syuting.


2. Kontrak kerja sering bermasalah dan merugikan pekerja karena rentan mengalami pelanggaran hak normatif, seperti upah tidak dibayar tepat waktu, tidak sesuai ketentuan, hingga tidak dibayarkan sama sekali.


3. Tidak ada standar upah dalam sektor film sehingga sulit menilai kelayakannya. Tanpa acuan upah layak, konflik horizontal antarpekerja kerap terjadi, seperti saling banting harga upah demi mendapatkan pekerjaan.


4. Normalisasi kondisi kerja yang tidak sehat. Selama ini muncul persepsi yang menganggap kondisi kerja buruk merupakan pengorbanan yang harus diterima pekerja sebagai konsekuensi atas upah yang diterima.


5. Pemerintah dinilai pasif dalam melindungi pekerja film. Tidak ada langkah konkret yang diambil sejak 2016 padahal 1/3 pekerja ekonomi kreatif mengalami kerja yang berlebihan.


5. UU 33 Tahun 2009 dinilai kurang melindungi pekerja film sehingga perlu direvisi.

 

Adapun tawaran solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada: 


1. Pembatasan waktu kerja yaitu maksimal 14 jam/hari. Waktu tersebut terdiri dari 8 jam kerja, 4 jam lembur, dan 2 jam istirahat.


2. Mengusulkan waktu jeda selama 10 jam antara akhir waktu syuting dengan awal syuting pada hari berikutnya.


3. Perlu adanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara serikat pekerja dengan asosiasi pengusaha film.


4. Kementerian Ketenagakerjaan perlu menerbitkan peraturan tentang waktu kerja sektor film, dan memfasilitasi pembuatan Perjanjian Kerja Bersama Multi Perusahaan untuk sektor film.


5. Kemenristek Dikti, Kemenparekraf, dan BPI diminta mensosialisasikan pentingnya pembatasan waktu kerja pekerja film.


6. Institusi pendidikan diminta menyusun kurikulum pendidikan perfilman yang dapat mendukung terwujudnya industri film yang berkeadilan, inklusif, dan manusiawi.


Kertas Posisi dapat didownload melalui link ini. Ini merupakan penelitian awal yang diharapkan dapat membuka ruang diskusi berkelanjutan kepada rekan-rekan pemangku kepentingan dalam ekosistem film. Seiring berjalannya waktu, kertas posisi ini akan terus diperkaya oleh penelitian lanjutan sesuai dengan arah pergerakan.

The ASC was established to formalise the role of and distinguish cinematographers from camera operators, but it had more to do with practicalities and problem solving. In the silent film era, movie cameras were generally heavy hand-cranked machines, and the centre of gravity of the US film industry was shifting from the east coast to the west. The technology and the medium were new, so camera operators everywhere faced common difficulties, such as annoying white streaks on footage, caused by static electricity. The east-coast based Cinema Camera Club, formed by a team of Edison’s camera operators, and the Static Club of America, based in Los Angeles and led by Universal’s Harry H Harris, collaborated on solutions to these issues, pooling their wisdom. Soon enough, Edison cinematographer Phil Rosen suggested a national organisation to his Hollywood colleague Charles Rosher.

“It’s not just about making pretty pictures,” says Mandy Walker, whose CV includes Hidden Figures, Australia and the forthcoming Mulan.

Rachel Morrison, the first woman Oscar-nominated for cinematography, on the set of Mudbound. Photograph: Steve Dietl/AP

‘I loved working on The Love Witch because I was able to recreate a lot of the lighting from the 50s and 60s,’ says cinematographer David Mullen. Photograph: Allstar/ Oscilloscope

Watch the trailer for Leave No Trace, shot by Michael McDonough

Related Articles